pengen ngopas atau ngutip isi blog ini??? izin dulu kam bray ke razakiko@yahoo.com biar makin ganteng hehe :)

Manortor Di Pesta Bona Taon Kota Medan 2011 Fakultas Sastra


RAZAKIKO HARKANI
090905026
PKL-2
ANTROPOLOGI SOSIAL FISIP USU

MANORTOR DI ACARA PESTA BONA TAON KOTA MEDAN 2011
FAKULTAS SASTRA USU

Merasa sangat beruntung karena berkesempatan untuk mempelajari tortor dan gondang apa saja yang digunakan . . .
Pengetahuan dan pengalaman berharga yang hanya kami dapatkan melalui hasil observasi langsung . . .
Tapi sayang, banyak kawan-kawan yang merupakan putra daerah tidak mengetahui jawaban dari setiap pertanyaan yang kulontarkan seputar tortor dan gondang . . .

Bermula dari Kemalasan Kuliah di Akhir Pekan

Sabtu, 12 Maret 2011. Sebenarnya tak ada perkuliahan hari itu, namun ada kuliah pengganti sehingga penulis tatap memacu semangat berjalan menapaki kaki dan mengayuhkan tangan menelusuri pintu 1, memintas perpustakaan hingga tembuslah di FISIP USU tercinta. Perjalanan kaki yang memakan  waktu kurang lebih 30 menit itu dipayungi hangatnya radiasi sinar mentari namun masih ada awan yang menyelimuti langit Kota Medan siang itu. Dalam perjalanan penulis melihat ada seorang anak laki-laki kecil mengenakan kain sarung dan duduk di samping ibunya dalam sebuah becak menuju pintu satu. Ya aku teringat  akan status Facebook salah seorang adik stambukku pagi itu.
Ternyata benar, suasuana di kampus terlihat berbeda dari hari-hari biasanya. Ada sebuah panggung dan di depannya terdapat tenda yang dipenuhi oleh kursi-kursi lipat, stand makanan di pojok kanan panggung, dan sebuah tenda biru putih yang agak tertutup di sebelah kiri panggung. Tampak anak-anak laki-laki ditemani orang tuanya tengah duduk-duduk pada bangku tersebut. Ada yang mengenakan kain sarung sambil dikipasi ibunya sambil menangis, ada yang tengah menunggu giliran untuk dipanggil, dan masih banyak aktifitas di sini. Tenda  tertutup itu adalah tempat dimana kegiatan khitan (red.sunat) massal dilakukan. Kegiatan ini dalam rangka memeriahkan Dies Natalis Departemen Perpajakan. Sempat terfikir dalam benak penulis untuk menarasikan kegiatan khitan massal ini sebagai tugas PKL-2. Tetapi ku urungkan niat karna menurutku tak ada yang menarik untuk dikisahkan dan penulis pesimis untuk menarasikannya sebanyak tiga sampai empat halaman.
Kuliah pengganti tersebut ternyata batal begitu saja entah karena alasan apa, padahal dosen dan ruangan kosong ada. Sedikit kecewa karna ke kampus butuh sebuah pengorbanan yang lumayan melelahkan. Tapi kemudian penulis bersama teman-teman memilih untuk menghibur diri dengan menonton band-band anak FISIP yang ikut memeriahkan panggung Dies Natalis Perpajakan. Kebetulan yang tampil  adalah Klimaks Antro, group band yang cukup fenomenal dari adek-adek stambuk kami 2010. Menonton mereka sambil makan keripik salak dan menyeruput jus salak yang ditawarkan kepada kami. Tepukan hangat penuh bangga  kami berikan kepada mereka yang telah mengharumkan  antropologi.
Ide menarik muncul dari seorang teman penulis. Ia mengatakan kalau di Fakultas Sastra sedang diadakan acara manortor. Langsung ku sambut dengan senyum manis saat fikiran-fikaranku mengatakan ini sangat menarik untuk dinarasikan sebagai tugas PKL-2. Meskipun gerimis, aku paksa dua orang temanku itu untuk menemaniku ke Fakultas Sastra. Mereka tidak menolak dan akhirnya kami berangkat menuju Fakultas Sastra.

Fakultas Sastra, Sambut Kedatangan Kami dengan Tortor

Pesta Bona Taon Kota Medan 2011, Pendopo USU, 10-12 Maret. Begitulah tulisan berwarna kuning yang tertera pada spanduk berlatarkan merah hitamnya motif ukiran khas Batak atau gorga, ada sebuah gambar animasi yang lucu yaitu seorang anak laki-laki tengah asyik memukul gondang atau gendang. Tiba-tiba langkah kami berhenti di depan gerbang Fakultas Sastra. Kami sempat ragu untuk masuk Fakultas Sastra karna pada spanduk ditulis kalau acara tersebut diadakan di Pendopo. Tak ada terlihat tarian tortor lagi di Fakultas Sastra. Hampir saja semangat kami patah, namun segera bersemangat kembali ketika sayup-sayup terdengar suara lagu Batak dari panggung di Fakultas Sastra. Lagu Unang Parmeam-Meam Ahu pun menyihir kami untuk masuk ke Fakultas Sastra.
Ada penjual Ulos Batak yang mencuri perhatianku, jujur dari dulu aku sangat mengagumi keindahan ulos yang beraneka warna dan motif. Sempat berfikir untuk membelinya tapi penulis urungkan. Kami duduk di sebuah tembok di luar tenda tapi gerimis semakin mengguyur. Kami pindah duduk pada bangku depan dalam tenda. Di samping kiri kami ada sebuah tenda khusus yang berisi sekelompok orang berbaju merah lengkap dengan Ulos Bataknya, entah siapa mereka batinku.  Untuk beberapa menit kedepan kami bertiga larut dalam alunan lagu-lagu Batak. Terkadang kami bertiga terpingkal dengan ulah sang MC yang membawakan lelucon berbahasa Batak Toba. Tidak begitu sulit memang, karena Bahasa Batak Toba sendiri banyak kemiripannya dengan bahasa kami Batak Mandailing. Hanya dua orang kawanku ini yang mengenakan jilbab dalam acara ini, biarpun ada yang lain tapi mereka mencuri-curi perhatian dari seberang jalan di luar arena kampus. Entah apa yang ada di dalam benak mereka sehingga merasa enggan untuk berbaur dan memeriahkan pesta ini. Tapi aku salutkan buat dua orang temanku ini yang memang bermental seorang calon antropolog yang tak mempunyai sifat fanatisme agama yang berlebihan. 

Mari Kita Manortor

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat yang kami nanti-natikan akhirnya datang juga. MC meminta panitia bersiap-siap untuk menyambut (mardomu-domu) rombongan alumni mereka yang datang dari Siantar. Segerombolan anak-anak muda berbaju merah dan menggunakan ulos yang duduk di tenda sebelah kiri kami pun berdiri dan bersiap-siap untuk menyambut tamu mereka. Ya ternyata mereka adalah panitia acara ini, pertanyaanku tadi pun terjawab sudah. Mereka berjumlah sekitar 12-an orang, berbaris berbaris berpasangan dan enam bersaf ke belakang. Pasangan tersebut tidak hanya cewek cowok, melainkan ada keduanya cewek atau sebaliknya  keduanya cowok. Barisan mereka memanjang membelakangi pentas utama. Rombongan tamu pun berbaris seperti itu, namun mereka menghadap ke pentas utama. Berbeda dengan panitia yang berbaju sergam merah, rombongan ini tidak mengenakan pakaian seragam akan tetapi tetap menggunakan Ulos Batak. Kebetulan penulis duduk paling pinggir dan sontak tercium aroma kamper yang menandakan ulos yang mereka gunakan tersebut sudah lama tersimpan dalam sebuah lemari. Ulos yang dipakai oleh perempuan  lebih variatif dengan berbagai motif dan warna ada yang berwarna kuning, biru , ungu, merah-hitam, dsb (ulos sadum), berbeda dengan ulos laki-laki dengan motif yang hampir sama dengan warna coklat tua (ulos ragi hotang).
Kemudian salah seorang dari mereka sebagai pembicara meminta kepada seseorang di atas panggung untuk memainkan “gondang padomu-domu”, sebuah gendang penyambutan tamu. “Amang pargonci nami namalo” begitulah panggilan akrab dari seorang laki-laki yang pintar memainkan gendang tersebut. Di samping gendang yang berjumlah enam buah dengan ukuran yang tidak sama besar ini ada juga digunakan instrument music lain yaitu terompet, seruling, dan keyboard. Gendang pun dipukul diiringi suara terompet. Ini menandakan prosesi manortor akan segera dimulai.
Ketika gondang padomu-domu dimainkan, baik panitia sebagai tuan rumah dan rombongan tamu, semuanya melakukan gerakan tarian sesuai irama hentakan pukulan gendang. Panitia menari dengan gerakan kaki menjinjit yang bergerak pada bagian ujung jari kaki sambil mundur dan tangannya digerakkan seperti gerakan mengajak. Sementara rombongan tamu melakukan gerakan yang sama, namun berjalan maju dan tangannya seperti orang menyembah. Panitia terus mundur lalu membentuk formasi setengah lingkaran di depan pentas yang diikuti oleh rombongan tamu yang juga membentuk setengah lingkaran. Sehingga terbentuklah sebuah formasi lingkaran yang besar.
Kemudian pembicara tersebut menyampaikan asal mereka dan tujuan mereka datang ke tempat tersebut. Mereka berdialog menggunkan bahasa Batak Toba yang kira-kira artinya adalah sebagai berikut “Kami dari Persatuan Alumni Budi Mulya Siantar datang ke sini untuk manortor bersama panitia dan terimakasih telah menyambut kami dengan penuh rasa suka cita”.
Lalu pembicara meminta “Amang Pargonci” untuk memainkan “gondang mula-mula”. Gerakan seperti menyemabah tanpa membuka tangan dan ini hanya berlangsung sebentar saja. Tangan dirapatkan diperut dan kemudian diangkat bersama-sama (tutup rapat) hingga ujung jari setinggi hidung,Selanjutnya dilanjutkan dengan ”Gondang somba-somba”. Di sini gerakannya sudah sambil membuka tangan, bergerak dengan tangan/jari rapat seperti ”menyembah” dan bergerak berputar kekiri dan kekanan sesuai irama gondang, badan posisi berdiri tegak. Selanjutnya para rombongan tamu bergerak sambil menari mengikuti pola setengah lingkar yang dibentuk oleh panita. Untuk itu amang pargonci memainkan gondang mangaliat.
Lalu mereka bermaksud untuk menyerahkan hantaran yang mereka bawa berupa lembaran-lembaran uang kertas yang disusun mengelilingi sebuah piring dan ditengahnya ada segenggam beras. Hantaran ini mereka sebut dengan nama sakti atau silua. Memang yang mereka bawa tidaklah seberapa harganya, namun mereka menyerahkannya dengan ikhlas dan berharap panitia senang hati menerimanya. Rombongan panitia mulai mendekati salah seorang rombongan tamu yang membawa sakti atau silua tersebut. Mereka mengejar-ngejar si pembawa sakti ke manapun ia pergi sambil menyodor-nyodorkan ulos, sekilas terlihat seperti orang yang tengah menangguk ikan di sungai. Tak semudah itu untuk mendapatkannya. Terkadang mereka harus duduk, kejar-kejaran dan akhirnya pengejaran dilanjutkan pada orang yang lain karena sakti tersebut telah diopor pada orang lain. Tak heran adengan ini memancing gelak tawa para penonton. Setelah sakti berhasil direbut maka  gondang pun berhenti.
Selanjutnya adalah Marhusip. Marhusip yaitu menari berpasang-pasangan muda mudi sambil berbisik tentang informasi apapun yang mereka inginkan dari pasangannya. Di sini  sudah dapat membuka tangan-merenggangkan jari, melenggangkan ke kiri kanan atau ke atas pundak, tetapi tangan harus terbuka. Biasanya perempuan akan melenggangkan tangannya ke kiri dan ke kanan, satu melekat di pinggang dan satu melekat di depan dada, kedua tangan bergantian melenggak-lenggok, baik dalam posisi berdiri atau jongkok dan akhirnya melompat bersama sambil berteriak.
Kali ini si pembicara meminta ‘amang pargonci” untuk memainkan gondang dengan sebuah lagu dibanbantu keyboard dan tiupan seruling. Manortor dengan gerakan bebas sesuai dengan lagu apa yang diminta. Tampak suasana kegembiraan terpancar dari para penari-penari tortor tersebut. Terkadang mereka membentuk lingkaran-lingkaran kecil sambil berbuputar dengan tangan berjabatan mengelilingi seseorang atau dua orang berpasangan yang terkurung di tengah-tengah mereka.

Pembicara menyampaikan bahwa maksud kedatangan mereka telah terpenuhi. Lalu dimintalah gondang hasahatan Sitio-tio. Semua panortor mengangkat ulos dengan dua tangan dan pada hitungan beberapa ketukan gondang mereka bersama-sama meneriakkan horas horas horas sambil mengibas-ngibaskan ulos mereka. Ritual manortor pun berakhir dan mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Wajah capek terlihat dari mereka setelah manortor. Tetesan butiran-butiran keringat  membanjiri wajah mereka. Mereka tak dapat sembunyikan itu meski mereka masih tetap mengumbar senyuman tanpa kenal lelah dan tetap bersemangat untuk melayani rombongan-rombongan tamu lainnya yang hendak manortor.

 Kembali Manortor  di Malam Minggu

Kurang puas rasanya meskipun telah menyaksikan secara langsung tiga kali penampilan manortor. Berhubung hari telah menunjukkan waktu Sholat Maghrib kami pun memutuskan untuk pulang. Ternyata kami bertiga menyimpan hasrat yang sama untuk mencoba untuk manortor. Kami pun bermaksud untuk kembali lagi ke Fakultas Sastra setelah mandi dan makan malam. Kami pulang ke kost masing-masing.
Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB. Sesuai perjanjian kami berkumpul di gerbang pintu 1 USU. Aku yang dulu sampai sehingga harus menunggu kehadiran mereka beberapa menit. Anehnya mereka tidak lagi menggunakan jilbab. Aku tidak bertanya, yang adadi benakku hanya gerakan-gerakan manortor yang masih membayang dan aku harus mencobanya.
Tidak terdengar suara music-musik Etnis Batak Toba lagi ketika kami melintasi sepinya jalan pintu 1 USU di malam minggu itu. Tapi semakin mendekati fakultas sastra sayup-sayup suara gondang menghampiri telinga kami. Ternyata Fakultas Sastra sudah ramai dengan lautan manusia, ada muda mudi yang menonton dari trotoar di luar pagar kampus, saat kami torehkan pandangan kami pada bangku-bangku di tenda yang hampir tidak ada lagi bangku kosong di sana. Pintu gerbang yang sudah ditutup mematahkan semangat kami, tapi tukang parkir mempersilahkan untuk masuk dan mendorong pagarnya.
Acaranya tidak jauh berbeda dari tadi siang. Manortor dan diselingi oleh lagu-lagu Batak. Tapi ada sedikit perbedaan di sini. Yaitu tiga orang panortor perempuan dari rombongan panitia mengenakan ulos yang mereka sulap menjadi rok sebatas lutut yang sangat kreatif. Ada juga penampilan Group Band Nomaden yang didatangkan langsung dari Parapat.
 Hingga kami berjumpa dengan seorang senior kami yang tidak mau diajak kawan-kawannya untuk manortor bersama karena merasa malu. Akhirnya dengan bantuan dia hasrat  kami untuk ikut manortor bisa tersalurkan juga. Dia memintakan tiga buah ulos dari kawannya untuk kami. Mana ulos ragi hotang untuk cowoknya ? Kenapa Cuma ada ulos buat cewek ? Ku urungkan niatku untuk ikut serta manortor. Akan tetapi kedua orang teman si penulis tetap ikut manortor meski tanpa aku. Karena sudah telat mereka tidak ikut gondang padomu-domu. Mereka tampak merasa puas dan menikmatinya.
Penulis merasa sedikit kecewa karena tidak bisa mempraktekkan pelajaran manortor yang baru saja penulis dan kawan-kawan dapatkan. Tapi penulis yakin kalau suatu saat pasti ada kesempatan untuk manortor lagi. Akhirnya jam 11.00 WIB kami pun meninggalkan Fakultas Sastra. Pulang dengan segudang data tapi sayang tidak ikut mempraktekkannya.

2 komentar:

  1. Gilina mengatakan...

    manteb bangg:))
    jadi pengen Manortor sama bangg kiko..
    aahaha ^^

  2. hahaha . . .

    tahun depanlah . . .

Posting Komentar