Mereka hidup terpencil di balik rimbunnya perkebunan karet dan kelapa sawit. Cipta Dharma, begitulah mereka menamai perkampung ini. Kampung ini lebih dikenal dengan nama Kampung Bali. Kampung Bali ini terletak di Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Mereka sudah mendiami kampung ini selama dua generasi. Berawal dari tahun 1974, mereka bermigrasi menggunakan kapal laut. Bencana alam meletusnya Gunung Agung membuat mereka harus rela meninggalkan kampung halaman mereka di Bali. Mereka datang secara bertahap antara tahun 1973 sampai tahun 1974. Mereka tidak langsung mendiami Kampung Bali, melainkan terlebih dahulu mendiami Lubuk Pakam dan ada sebagian besar lagi di Asahan. Merekalah yang pertama datang ke Kampung Bali, membuka hutan-hutan tersebut menjadi lahan perkebunan.
Setelah kedatangan mereka maka datanglah etnis lainnya seperti Jawa dan Karo. Mereka hidup bersama dengan menjalin interaksi yang harmonis. Tak heran kalau kita sering menjumpai orang Jawa yang bisa menggunakan bahasa Bali di sini. Suasana keakraban sangat terasa manakala adanya gotong royong bersama serta ketika mengadakan upacara pernikahan. Semua etnis di sini ikut terlibat mengambil peran, seperti memasak dan lain sebagainya. Hal ini juga yang menciptakan rasa kedamaian dan belum pernah terjadi tindakan kriminalitas.
Perkawinan antar etnis juga kerap terjadi di sini. Ketika seorang laki-laki Hindu Bali menikahi perempuan non Hindu Bali, maka secara otomatis hubungan kekeluargaanya akan terputus. Agak sedikit berbeda kalau perempuan Hindu Bali yang menikahi laki-laki non Hindu Bali, ia masih tetap dianggap sebagai anggota keluarga. Bagaimana kalau kasusnya seorang perempuan bersuku non Bali menikahi laki-laki Bali? Secara otomatis perempuan tersebut dihindukan dan diberi gelar adat Bali. Pernikahan seperti ini biasanya harus dilaksanakan di pura karena butuh saksi-saksi bahwa telah hadirnya keluarga Hindu Bali yang baru. Kalau pernikahan tersebut terjadi antara sesama orang Bali, maka pernikahannya cukup dilakukan di rumah masing-masing dengan memberikan banten (sesajian ) pada sanggah.
Rumah-rumah penduduk masih terlihat sangat sederhana. Bahkan ada beberapa rumah yang masih berlantaikan tanah liat. Perabotan rumah tangga mereka pada umumnya dilengkapi dengan TV berwarna sebagai sarana hiburan, serta kipas angin yang menyejukkan dikala sinar matahari menyengat. Daerah ini memang tergolong bersuhu panas dan ini sangat cocok untuk berkebun kelapa sawit dan karet. Masing-masing rumah juga memiliki kendaran pribadi. Minimal mereka memiliki sepeda motor. Bahkan ada beberapa rumah yang masing-masing anggota keluarganya memiliki sepeda motor sendiri. Rumah-rumah tersebut juga dilengkapi dengan sanggah-sanggah yang beranekaragam jenisnya. Sanggah tersebut merupakan sebuah replika dari bangunan pura yang berfungsi sebagai sarana peribadahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Sanggah-sanggah tersebut dibangun sesuai dengan kemampuan ekonomi seseorang sehingga tampak perbedaan status sosial yang sangat mencolok dari sangggah-sanggah tersebut.
Mereka bahkan masih sering mengunjungi familinya di Bali. Komunikasi antar keluarga masih terjalin erat. Mereka akan segera memberikan kabar tentang berita suka dan duka kepada kerabat mereka. Meskipun mungkin keluarga tersebut tidak bisa hadir karena jarak yang begitu jauh, akan tetapi mereka sudah diberikan kabar berita. Ada juga beberapa yang sudah kembali pulang dan menetap di Bali. Mereka merasa tidak cocok tinggal di sini dan lebih enak tinggal di kampung sendiri. Mungkin mereka merasa takut hubungan keluarganya akan terputus.
Pada umumnya mereka berasal dari satu kasta, yaitu kasta sudra. Hal ini terlihat dari pemakaian nama mereka, seperti: Wayan (anak pertama), Made (anak ke-dua), Nyoman (anak ke-tiga) , dan Ketut (anak ke-empat). Apabila dalam suatu kelarga dikaruniai anak lebih dari empat orang, maka urutan namanya dikembalikan lagi. Agak berbeda dengan kasta Brahmana yang panggilannya I Gusti, I Gede, I Bagus, dll. Namun dalam kehipan sehari-hari kasta-kasta ini tidak jauh berbeda kehidupannya. Kasta ini hanya sebagai gelar penghormatan kepada nenek moyang mereka di masa silam.
Mayoritas penduduk di sini bekerja sebagai petani karet dan kelapa sawit. Mereka memiliki tanah seluas 3 sampai 5 hektar dan sudah dilengkapi dengan surat-surat seperti sertifikat yang disatukan dengan PBB serta surat garapan. Surat-surat ini ditandatangani oleh kepala desa. Di samping berkebun karet dan kelapa sawit ada juga yang bekerja mocok-mocok (tidak tetap).
Suasana sepi menyelimuti setengah hari perkampung ini. Masyarakat pada umumnya pergi ke ladang mulai dari jam 06.00 WIB pagi hingga pukul 12.00 WIB siang. Sore hari kehidupan lebih sedikit terlihat sepulangnya mereka dari kebun. Baik perempuan dan laki-laki terlihat beristirahat di rumah mereka. Perempuan memiliki tugas rangkap yaitu menyiapkan santapan makan malam buat keluargaya.
Jangan kaget kalau sewaktu-waktu kita menemukan babi lepas ketika kita tengah asyik menelusuri kampung ini. Memelihara babi merupakan suatu usaha sampingan mereka. Masyarakat Hindu Bali tidak terlepas dengan hewan yang satu ini. Mereka dipelihara karena babi dibutuhkan dalam upacara-upacara adat. Babi-babi tersebut sengaja dilepaskan oleh tuannya supaya bisa mencari makan sendiri. Hal ini mereka lakukan karena mereka tidak punya banyak waktu lagi untuk memelihara babi mereka. Mereka terlalu sibuk berkebun dan mengurus rumah tangga. Tak ada pembagian pekerjaan dalam memelihara babi. Perempuan dan laki-laki sama-sama memeliharanya. Babi-babi tersebut akan kembali pulang ke kadandangnya apabila ia merasa lapar dan hari telah malam. Namun terkadang mereka tidak pulang, induksemang mereka pun terlihat sibuk sambil berteriak cit…cit…cit. Biasanya babi-babi tersebut akan pulang karena mengenali suara majikannya. Memelihara babi ternyata sebuah bisnis yang menggiurkan. Harga babi tergantung pada usia dan ukurannya. Seekor kucit (babi kecil berusia satu setengah bulan) dihargai seharga 300-500 ribu Rupiah, seekor bakong (induk babi) dihargai 500-700 ribu Rupiah, dan yang paling mahal adalah celeng (babi sedang berusia 1,5 bulan- tiga bulan) dengan harga 700-800 ribu Rupiah. Babi-babi tersebut biasanya dijemput oleh para pemborong yang sengaja datang ke kampung mereka membawa mobil bak. Seorang istri tidak akan berani menjual babi-babi peliharaan mereka tanpa sepengetahuan dari suami mereka. Hal ini merupakan sebagai suatu bentuk penghormatan kepada kepala keluarga.
Perjalanan Panjang dan Mengerikan Menuju Sebuah Kehidupan
Perjalanan perburuan data itu kami mulai pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2011. Persiapan barang-barang keperluan selama di padang perburuan ku siapkan secepat bus patas lintas barat. Hal seperti ini sebenarnya tidak harus terjadi kalau seandainya kami tidak kuliah pada hari itu. Apa boleh buat ku korbankan sholat Jumatku hanya untuk persiapan keberangkatan ini.
Ku kira sudah telat dan harus buru-buru mempercepat langkah kaki menuju kampus. Di depan kampus kami sudah parker empat buah angkot sewaan dengan nomor 124. Entah apa masalahnya sampai menunda keberangkatan. Jam 02.30 WIB kami pun berangkat meninggalkan kampus FISIP USU.
Kalau bukan macet bukan Kota Medan namanya. Maklum jam-jam sibuk seperti ini. Hal ini membuat waktu tempuh perjalanan kami semakin lama. Di Kota Binjai angkot kami pun sempat ditilang oleh para petugas. Kami harus izin terlebih dahulu dan harus membayar sejumlah rupiah. Akhirnya perjalanan pun kami lanjutkan kembali.
Jalan yang kami lalui pun kian lama kian parah ketika kami berada di perbatasan kota. Lubang-lubang di jalan akibat sering dilalui oleh kendaraan truk dengan bobot yang tak sebanding dengan daya tahan jalan. Truk-truk pengangkut hasil alam seperti kelapa sawit dan karet. Kami harus menahankan hawa panas karena jendela angkot harus ditutup supaya kabut debu tidak masuk ke dalam. Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat, begitulah tulisan yang saya baca dari beberapa papan nama toko dan bangunan yang ada di sepanjang perjalanan.
Hingga sampailah kami di tepi sungai Wampu. Sungai yang luas, airnya terlihat tenang dan berwarna kekuningan. Getek merupakan satu-satunya sarana transportasi yang menghubungkan kami ke kampung seberang. Tak ada jembatan. Meskipun ada jalan alternatif lain, hal ini justru akan memakan waktu tempuh yang jauh lebih lama. Getek tersebut berbentuk seperti rumah-rumahan dengan dua buah perahu kecil dibawahnya sehingga bisa mengapung. Ada sebuah tuas yang digunakan supaya getek ini terus berjalan lurus. Getek ini diikatkan pada sebuah kawat yang ada di atas kami. Hal ini mencegah kalau-kalau getek tersebut dihanyutkan oleh derasnya aliran sungai.
Kami pun turun dari angkot kami masing-masing. Hanya supir dan barang-barang saja yang ada di atas angkot. Satu getek hanya muat satu buah angkot dan beberapa buah sepeda motor di samping beberapa orang penumpangnya. Getek tersebut harus dibayar sebesar RP.10.000 untuk mobil dan Rp.3.000 untuk sepeda motor, sudah termasuk penumpangnya. Di seberang sungai kami harus sabar menunggu semua angkot-angkot kami diseberangkan satu persatu.
Pukul 06.00 WIB perjalanan kembali dilanjutkan. Kampung Bali masih terletak kira-kira 13 KM lagi. Medan yang kami lalui semakin berbahaya. Membelah keheningan hutan yang ditumbuhi oleh tanaman kelapa sawit, karet, dan kakao milik warga. Jalan yang berliku-liku, naik turun bukit, dan lubang-lubang besar yang digenangi oleh air hujan. Terkadang kita harus sabar menunggu mobil yang lainnya berpapasan. Terlihat warga sekitar melambaiakan tangan mereka ke arah kami. Kami pun membalas keramahan warga tersebut. Senja kini berganti malam suasana semakin mencekam, suara jangkrik dan burung malam memecahkan keheningan malam. Terkadang kami harus turun dari angkot karena ketidaksanggupan angkot untuk mendaki bukit yang terjal. Beruntung waktu itu hujan tidak turun. Kalau hujan turun aku tidak bisa membayangkan betapa licinnya jalan ini dan akan semakin sulit untuk dilalui.
Kehidupan Baru di Kampung Bali
Akhirnya perjalanan panjang dan melelahkan ini berakhir. Jam 07.10 WIB sampailah kami di Kampung Bali. Desa ini terletak di Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Sebuah gapura perpaduan antara Jawa dan Bali senantiasa menyambut kedatangan kami. Sudah begitu gelap untuk meneruskan perburuan data hari ini. Keindahan Kampung Bali yang tertutup kegelapan malam, membuatku semakin tak sabar untuk menunggu pagi.
Pak Legiman dan keluarganya telah menunggu kami di sebuah kedai. Kami pun menyalami mereka satu per satu. Rumah Pak Legiman inilah yang nantinya akan kami gunakan sebagai base camp. Kami dijamu makan malam dengan menu ayam semur. Rasa manis masakan ini mengingatkanku akan suatu etnis yang mendiami Pulau Jawa. Dugaanku benar dan terjawab ketika melihat photo pernikahan adat Jawa yang tergantung di dinding rumah. Berbeda dengan teman-teman yang merasa kepanasan, bagiku hawanya terasa dingin. Ini membuatku mengurungkan niat untuk mandi. Sebagian kami tidur di rumah bawah dan sebagian lagi di rumah atas. Istirahat malam ini terasa begitu nyenyak mengobati rasa letih yang teramat sangat.
Ketika aku terbangun pagi itu, ternyata sudah ada antrian menunggu giliran mandi. Ku bukakan paksa mataku menahan rasa kantukku jam 06.00 WIB pagi itu. Aku tak mau menunggu antrian yang lebih panjang lagi untuk mandi. Segarnya setelah mandi. Ku hirup udara pagi pertamaku di Kampung Bali. Dari tadi malam tak ada satu bar indikator signal pun yang mampu ditangkap jaringan operator selulerku. Kami pun memutuskan untuk ke tempat yang agak lebih tinggi untuk mendapatkan jangkauan signal. Disinari mentari pagi yang semakin meninggi kami pun bisa memberikan kabar berita kepada orang-orang terdekat untuk mengobati rasa kekhawatiran mereka. Aktifitas warga pagi ini terlihat sudah begitu sibuk. Tawa canda anak-anak dan para remaja yang berangkat menuju sekolah mereka. Orang tua pun terlihat sibuk dengan membawa perlengkapan mereka menuju ke ladang.
Meraup Rupiah Ala Kampung Bali
Masyarakat Kampung Bali pada umumnya memiliki mata pencaharian berkebun. Mereka berkebun karet dan kelapa sawit. Masing-masing kepala keluarga pada umumnya memiliki lahan perkebunan sendiri seluas tiga sampai lima hektar. Ada juga yang tidak memiliki lahan perkebunan tetapi mereka bekerja pada lahan orang lain (membelah) dengan hasil dibagi dua. Mereka lebih mengutamakan untuk mempekerjakan orang yang mempunyai hubungan darah dengan mereka, namun tidak menutup kemungkinakan untuk mempekerjakan orang lain yang mereka percayai.
Dahulunya ketika mereka datang ke kampung ini, lahan-lahan tersebut masih hutan belantara. Mereka kemudian membelinya dengan harga yang sangat murah dari pemerintah setempat. Sebagai bukti kepemilikan lahan mereka diberikan surat garapan. Dengan demikian mereka diwajibkan untuk membayar pajak sebesar Rp.600 per meternya. Mereka dahulunya membayar pajak tersebut ke Desa Besilam, namun karena ada sedikit konflik mereka membayar pajak tersebut ke Desa Binge. Alokasi pemungutan pajak ini tidak jelas. Sarana dan pra sarana tak kunjung dibangun sehingga terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Mereka menjual karet tersebut pada toke-toke langganan mereka. Karet tersebut dihargai sekitar Rp.11.500 per kilonya. Harga tersebut tidak tetap, sering naik turun. Bahkan harganya pernah mencapai Rp.3.000 per kilonya. Harga yang turun drastis berbanding terbalik dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Masyarakat terpaksa harus pintar-pintar berhemat dengan memangkas segala pengeluaran mereka. Namun demikian mereka tetap mempertahankan usaha perkebunan karet mereka.
Dibandingkan dengan kelapa sawit, mereka lebih memilih untuk berkebun karet. Untuk berkebun karet perawatannya lebih praktis dan harganya jauh lebih mahal. Kelapa sawit perlu dipupuk. Akan tetapi mereka juga mempunyai kebun kelapa sawit di luar perkampungan ini. Mereka pada umumnya mempunyai perkebunan kelapa sawit di daerah Pakan Baru. Dengan demikian mereka seperti memperluas daerah kerajaan mereka. Di Kandis misalnya, di sana juga terdapat perkampungan Bali yang jauh lebih bagus daripada perkampungan di sini.
Pembibitan kelatak dan karet tongkat (anak karet yang terdapat di sekitar pokok induk)
Salah satunya adalah seorang dadong (nenek) bernama Made Tangen. Menurut pengakuannya dia adalah generasi pertama yang tinggal di Kampung Bali ini. Sehari-hari kerkerjanya menderes (berkebun karet). Ia memiliki tiga hektar kebun karet namun hanya dua hektar saja yang masih berproduksi. Ia memiliki surat-surat kepemilikan tanah yang disatukan dengan surat pajak. Surat tersebut ditandatangani oleh kepala desa. Surat tersebut sengaja beliau titipkan pada kepala desa karena ia sering bepergian ke luar kota dan karena usianya yang sudah renta. Ia tetap mempertahankan berkebun karet sementara masyarakat sekitar sudah banyak beralih pada kelapa sawit. Ia mengaku bahwa perawatan karet lebih sederhana dan hasilnya jauh lebih menguntungkan ketimbang kelapa sawit. Dalam setiap minggunya beliau dapat menghasilkan 150 kg karet yang dijual seharga Rp.14.000 per kilogramnya.
Dadong (nenek) Wayan Rai. Yang berusia 60 tahun Beliau merupakan generasi pertama yang bermigrasi pasca meletusnya Gunung Agung pada tahun 1974 silam. Pada awalnya mereka bekerja di PPN Karet 4 Pulo Raja. Mereka datang ke Kampung Bali dengan membeli tanah untuk membangun rumah dan lahan perkebunan karet dari salah seorang mantan kepala desa bernama Pak Adma. Beliau mengolah lahan karet seluas tiga hektar. Lahan ini sudah memiliki surat-surat yang telah disahkan oleh kepala desa. Beliau dikenakan pembayaran pajak Rp.40.000 per hektar. Dahulu mereka membayar pajak ke desa Besilam, namun sekarang mereka membayarnya ke desa Binge.
Beliau mendapatkan bibit karet secara cuma-cuma. Bibit karet ini berasal dari keletak. Kelatak-kelatak tersebut mereka kumpulkan dari bawah-bawah pohon karet. Sebelum mereka mengumpulkan keletak tersebut terlebih dahulu dibuat lubang-lubang pada tanah. Kemudian kelatak-kelatak tersebut langsung ditanam di dalam lubang tersebut dengan sedikit pupuk. Karet baru bisa menghasilkan getah setelah berusia tujuh tahun. Selama masa penungguan tersebut mereka menanami ladang dengan tanaman muda (palawija) seperti: padi, cabe, sayur mayur, dan lain sebagainya. Selama 30 tahun karet dapat dipanen tanpa mengenal musim. Pengolahan karet tidak membutuhkan perawatan yang khusus seperti kelapa sawit. Tidak perlu dirawat pun pohon tersebut tetap menghasilkan getah karet. Berbeda dengan kelapa sawit yang harus dibeli bibit dan pupuknya.
Pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia jenis TSP dan urea. TSP Rp. 9.000 urea Rp.200.000 2 goni 50 kg. TSP pembeku. Kalau tidak dipupuk 80-90 kg. harga jual karet tergantung dari toke. Harga tersebut berkisar antara Rp.11.000 sampai Rp.13.000. harga tersebut tidak stabil (flugtuasi). Bahkan pada masa krisis moneter silam harga karet sempat anjlok hingga Rp.2.500 per kilogramnya. Untuk menutupi biaya hidup yang berbanding terbalik dengan harga karet mereka beradaptasi dengan melakukan penghematan besar-besaran.
Sanggah-sanggah mewah yang dibangun sesuai dengan kemampuan. Sanggah adalah sebuah bangunan replika dari pura yang digunakan sebagai tempat persembahyangan di rumah. Dadong sendiri membangunnya pada tahun 2007 silam dengan menghabiskan dana pembangunan Rp.3.000.000. Beliau mendapatkan bahan-bahan bangunan dengan cara memesannya terkecuali pasir. Pasir tersebut dimabilnya sendiri di sungai. Pengangkutan dengan montor (mobil bak) tidak bisa dilakukan sekaligus karena sarana transportasi yang tidak memadai. Pembangunan pun dilakukan secara bertahap.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat Kampung Bali biasanya membelinya di warung-warung yang ada. Untuk sayur dan ikan biasanya ada penjual yang mendistribusikannya ke kampung mereka menggunakan sepeda motor. Kalau tidak mereka terpaksa berbelanja ke luar kampung. Pekan pun kerap dilakukan di kampung yang letaknya berjarak setengah jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor dari kampung ini. Ada juga yang menitipkan belanjaannya pada tetangga mereka yang akan pergi ke kota. Harga kebutuhan sehari-hari mereka memang relative agak sedikit mahal bila dibandingkan dengan harga normal. Hal ini terjadi karena jauhnya letak perkampungan mereka sehingga membutuhkan biaya operasional yang lebih banyak.
Di Kampung Bali ini SD Inpres merupakan satu-satunya sarana pendidikan yang ada. Anak-anak yang ingin masuk SMP ada di kampung tetangga. Namun kalau ingin melanjutkan ke tingkat SMA mereka harus menyebrangi sungai Wampu terlebih dahulu menggunakan getek. Tak ada sekolah pemerintah yang benar-benar geratis. Mereka tetap dipungut uang pendafataran, seragam dan buku-buku. Kebanyakan dari mereka hanya sekolah sampai tingkat SD karena keterbatasan keuangan. Tapi bila mereka mempunyai rejeki mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka sampai mendapatkan titel sarjana.
Pada umumnya mereka masih menjalin hubungan yang baik dengan keluarga mereka yang ada di Bali. Mereka saling berkunjung dan memberikan kabar. Tetapi terkadang keluarga mereka tak sempat berkunjung untuk menghadiri suatu pesta pernikahan di Kampung Bali karena jarak yang begitu jauh. Mereka hanya diberitahukan beritanya saja.
Babi lepas merupakan pemandangan yang taka sing lagi di Kampung Bali ini. Tapi bagiku yang tak biasa melihat babi lepas, ini merupakan sesuatu hal yang baru. Kami bertiga mengejar babi tersebut hingga menghilang di lembah. Masuk semak-semak. Kadang babi tersebut teril mengeluarkan suaranya, terkejut sadar ketika kami mengintainya. Ketika asyik mengintai kami dikejutkan oleh suara sang pemilik. Ibuk Lilik namanya. Babi tersebut adalah kepunyaan dari mamaknya. Babi tersebut sengaja dilepas dan akan kembali sendiri jika ia merasa lapar.
Buk Lilik adalah orang Jawa yang masuk Hindu. Rumah buk Lilik akan segera di renofeasi. Tumpukan batu bata yang sudah empat tahun bertumpuk di halaman rumahnya. Buk Lilik hidup bersama suami dan tiga orang anak lelaki. Ibuk Lilik sering ke Kota Medan karena ia punya kerja sampingan di PT. Biit Baru di Jalan Hayam Wuruk, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang holtikultura. Sementara suaminya masih sedang kuliah pada Agama Hindu.
Sembari memasak makanan kami sempatkan berwawancara. Kami pun disuguhkan minum kopi dan teh tubruk. Ibuk lilik dan suaminya bekerja pada lahan seluas lima hektar. 1 hektar ditanami kelapa sawit dan sisanya ditanami karet. Biasanya mereka mendapatkan 150 kilogram karet per minggunya dan dijual seharga Rp.13.000. kata buk Lilik besok mereka akan menderes dan mengutip di kebun. Kami pun minta izin untuk ikut ke kebun esok hari. Meskipun ibuk merasa agak rendah diri karena pekerjaannya yang jorok, tapi kami tetap diizinkan asalkan tidak mengganggu pekerjaannya.
Setelah makan malam, kami datang lagi ke rumah Buk Lilik untuk memastikan keberangkatan ke ladang besok pagi. Sepanjang jalan kami digonggongi anjing. Pada umumnya setiap rumah penduduk di sini memelihara anjing.
Kedatangan kami disambut dengan senyuman Buk Lilik dan akhirnya kami bisa berkenalan dengan Pak Wayan, suaminya. Sedikit berbasa-basi dengan membicarakan seputar kehidupan Umat Hindu. Kami mendapatkan informasi mengenai perbedaan Hindu Dharma dan Hindu Tamil yang terletak pada adat istiadatnya. Pada Hindu Dharma juga ada sistem kasta yang bisa terlihat dari nama seseorang. Pada kasta Sudra ada sebutan Wayan (anak pertama), Made (anak ke-dua), Nyoman (anak ke-tiga) , dan Ketut (anak ke-empat). Sementara pada kasta brahmana ada I Gusti, I Gede, I Bagus, dan lain sebagainya. entah apa hubungannya dengan sistem perekonomian tetapi yang jelas pembicaraan ini dapat menjalin hubungan yang baik dengan informan kami. Kami pun mengutarakan maksud dan keinginan hati untuk ikut nderes dan ngutip di kebun mereka. Dengan senang hati mereka mengizinkan. Kami pun pulang dengan membawa berita bahagia pada anggota kelompok kami yang lain.
Nderes dan Ngutip, Kisah Perjalanan Karet
Pagi-pagi bape (bapak) Wayan sudah menunggu kami dengan beberapa ember ditangannya. Sesuai janji kami akan mengikuti bapak itu bekerja di ladang hari ini. Kenapa bape yang lebih semangat daripada kami. Langkah beliau begitu cepat sehingga membuat kami tertinggal. Kami pacu beliau dengan setengah berlari. Sedikit percakapan untuk menghangatkan suasana.
Ladang bapak terletak tidak begitu jauh dari rumahnya. Setelah sampai di puncak bukit kami menuruni jalan setapak membelah rimbunan hutan kelapa sawit. Di tengah perjalanan kami menemukan sebuah rumah milik bape Wayan Oles. Ada babi lepas di sini yang membuat perjalanan kami sedikit terhenti. “kalau kalian beruntung, kalian bisa melihat kera di kebun saya”, tutur bape Wayan pada kami. Kami pun kian semangat dan semakin penasaran akan kebun bape. Sampailah kami di ladang karet milik bapak. Ladang seluas tiga hektar ini terletak pada sebuah bukit, mulai dari kaki bukit sebelah kanan sampai ke kaki bukit sebelah kiri. Kebun bape Wayan berbatasan dengan kebun-kebun warga lainnya. Di tempat yang agak landai terdapat sebuah lubang yang sengaja digali berbentuk bujur sangkar. lubang ini berisi rendaman air dan pupuk. Lubang ini juga yang nantinya akan digunakan sebagai cetakan karet sebelum diangkut ke toke. Menderes memang harus dilakukan pada pagi hari. Hal ini dikarenakan getah karet akan lebih banyak berpoduksi ketika pagi hari.
Bape Wayan mulai menghampiri pohon pertama. Kemudian ia mengeluarkan getah yang telah ditampung selama satu minggu dalam batok kelapa. Getah tersebut sudah membeku. Ia membiarkannya terletak di bawah pohon dan kemudian memasang kembali batok kelapa tersebut. Kemudian ia mengeluarkan alat yang bernama piso nderes. Bentuknya seperti pisau pada umumnya ada gagang yang terbuat dari kayu, namun menyerupai sabit kecil yang pada ujung pisau ini terdapat lengkungan. Ia kemudian melukai kulit pohon karet menggunakan pisau tersebut. Cara melukainya tidak boleh sembarang, harus mengikuti pola melingkar hingga getah karet bisa mengalir menuju batok kelapa. Melukai kulit pohon karet untuk mendapadatkan getahnya inilah yang disebut dengan nderes. Sementara itu ngutip adalah mengumpulkan getah karet yang sudah ditampung selama seminggu di dalam batok-batok kelapa. Pekerjaan ini harus dilakukan setiap hari supaya getah tersebut tetap mengalir hingga tertampung di batok kelapa. Begitulah interaksi yang bape lakukan antara satu pohon dengan pohon yang lainnya.
Tak lama kemudian datanglah memi (ibuk) Lilik, istri bape Wayan untuk membantu. Dengan balutan seragam lusuh dan seember pakaian kotor ditangannya, memi menyapa kami dengan senyum ramhanya. “Beginilah kerja kami, jorok”, tuturnya. Kami hanya membalasnya dengan candaan-candaan kecil. Pekerjaan ini sebenarnya bukanlah pekerjaan yang jorok, pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang sangat lumayan menghasilkan rupiah. Memang pekerjaan ini agak sedikit berat karena kita harus nderes setiap hari dan ngutip sekali seminggu.
Tanpa banyak berbasa basi dan membuang-buang waktunya lagi dengan kami, memi Lilik kemudian langsung bekerja membantu suaminya. Kerja sama suami istri ini tentunya akan membuat pekerjaan nderes dan ngutip tersebut menjadi cepat selesai. Bape melakukan pekerjaan tersebut dari kaki bukit, sementara memi bekerja dari atas bukit. Mereka berdua melakukan hal tersebut selama kurang lebih tiga jam. Bayangkan kalau hanya sendiri bape yang melakukannya. Mungkin kegiatan nderes tersebut tak kan kunjung berkesudahan.
Tidak banyak pertanyaan yang bisa kami lontarkan di sini karena takut akan mengganggu pekerjaan bape dan memi. Kami hanya bisa melakukan pengamatan bagaimana mereka bekerja menyadap getah-getah karet tersebut. Sekejap mata bape dan memi menghilang dari pandangan kami. Mereka larut dalam pekerjaannya di balik pohon-pohon karet yang berjejer rapat.
Kami memilih untuk beristirahat pada sebuah pondok di areal perkebunan karet di sebelah kebun bape Wayan. Hanya satu yang menjadi cirri khas yang menandakan pondok dan kebun ini juga milik orang Bali. Di depan pondok ini terdapat sebuah sanggah sederhana yang terbuat dari bambu. Masih ada terlihat sedikit sisa-sisa janur kelapa yang mulai layu melapuk. Sanggah sederhana di tengah perkebunan ini juga digunakan sebagai tempat untuk meletakkan sesajian.
Tiba-tiba tampak seorang anak muda yang juga tengah menderes. Agak sedikit berbeda dengan bape, bli (abang) ini menggunakan piso nderes yang dikaitkan menggunakan sebilah bambu. Ia menggunakan bambu karena ia harus melukai kulit pohon yang agak tinggi. Kulit pohon karet yang di bawah sudah tidak bisa lagi dideres karena sudah sampai pada tulang batang. Kalau sudah sampai ke tulang batang maka luka bekas sayatan pada kulit pohon tak akan bisa pulih kembali seperti sediakala.
Karena merasa sedikit lama dan kebetulan waktu sarapan pagi, aku dan beberapa orang teman bergerak meninggalkan ladang menuju base camp kami. Dua orang anggota kelompok kami tetap menunggu di sini asalkan mereka dibungkuskan sarapan pagi.
Setelah sarapan dan breafing dengan dosen mengenai kepulangan kami. Aku dan teman-teman memutuskan untuk kembali ke ladang. Kami membawa salah seorang anggota kelompok kami yang lain dan tidak lupa nasi goreng yang telah kami bungkuskan sesuai dengan permintaan anggota kelompok kami yang tinggal di ladang tadi.
Perjalanan yang Tertunda
Sebelum sampai di ladang bape Wayan, kami menyempatkan diri untuk bertamu ke rumah bape Wayan Olas yang letaknya tidak begitu jauh dari ladang bape Wayan. Kedatangan kami disambut oleh memi Mitri dan anak perempuan tunggalnya bernama Made. Rumah memi Mitri masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan rumah-rumah penduduk lainnya. Rumah mereka masih berlantaikan tanah tanpa adanya peralatan mewah. Memi Mitri dan suaminya yang bernama Wayan Olas bekerja mengolah lahan karet milik orangtua sang suami.
Keluarga ini juga memiliki beberapa ekor hewan ternak seperti ayam dan babi. Mereka sengaja melepaskan babi tersebut supaya mereka bisa tetap mencari makanan sementara majikannya berladang. Babi-babi tersebut diberi makanan yang terbuat dari campuran batang pisang, nasi, ditambah sedikit garam atau diberi dedak. Memelihara babi ternyata sangat erat hubungannya dengan Hindu Bali. Babi-babi tersebut biasanya dipotong pada hari-hari besar keagamaan seperti Galungan. Berbisnis babi kecil-kecilan ternyata menghasilkan uang yang lumayan. Satu ekor babi biasanya dihargai sebesar Rp.500.000. Mereka menjualnya pada orang-orang yang memang sengaja datang ke kampung tersebut. Memi tidak berani menjual ternak mereka tanpa izin dari suami. Hal ini ia lakukan karena rasa hormatnya kepada suaminya yang merupakan kepala keluarga. Mereka memeliharanya bersama tanpa adanya pembagian pekerjaan khusus. Terkadang mereka sangat bersedih karena hewan ternak mereka mati terserang penyakit seperti flu babi dan flu burung. Mereka menguburkan kemudian hewan tersebut jauh dari tempat tinggal mereka.
Terdengar suara dari arah pintu belakang memecahkan suasana santai wawancara kami. Suara itu tak lain dan tak bukan adalah suara bape Wayan Olas suaminya memi Mitri. Beliau terlihat agak sedikit sibuk karena harus memanen kelapa sawit milik temannya. Ia hanya pulang untuk mengambil sebuah angkong (gerobak). Atas perintah suaminya kami kemudian diseduhkan teh tubruk oleh memi.
Pembicaraan pun kami lanjutkan kembali. Kata memi sekali setahun mereka mengadakan ritual tumpek rambung. Ritual ini dilakukan dengan membawa banten (sesajian) pada kebun-kebun mereka. Hal ini mereka tujukan sebagai bentuk rasa sykukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas limpahan rejeki yang diberikan.
Dalam Hindu Bali terdapat hari-hari besar keagamaan. Mereka mempedomani sebuah kalender khusus yang didapatkan dengan menebusnya seharga Rp.20.000 dari pura. Hari-hari besar itu diantaranya adalah Galunngan, Nyepi dan Purnama Utilam. Ketika hari-hari besar keagamaan tersebut maka hanya warga keturunan Bali sajalah yang diberikan izin untuk tidak masuk sekolah.
Purnama Utilam biasanya diadakan dua kali dalam sebulan. Mereka melihat bulan purnama sebagai patokannya. Purnama merupakan awal bulan, sementara Utilam merupakan bulan mati. Mereka biasanya hanya melakukan persembahyangan di sanggah masing-masing. Sesajian yang mereka berikan adalah seikhlas hati sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ada buah-buahan, panganan dan janur yang terbuat dari daun kelapa yang masih muda.
Biasanya hari-hari besar keagmaan seperti Galungan tidak pernah bertabrakan dengan hari nderes dan ngutip. Jauh-jauh hari mereka sudah mengatur kapan seharusnya mereka berladang supaya kegiatan beribadah mereka tidak terganggu. Pada hari raya Galungan misalnya yang menuntut mereka harus bersembahyang di pura pada pagi hari. Akan tetapi kalau upacara purnama utilam hal tersebut sering terjadi. Upacara Purnama Utilam tidak mengganggu pekerjaan mereka karena dilakukan pada malam bulan purnama.
Ketika kami meminta memi untuk berfoto bersama, memi menolak karena merasa minder. Begitu juga ketika kami hendak meminta foto rumahnya. Kami pun berpamitan untuk melanjutkan perjalanan kami tadi yang tertunda.
Menyusun Keret di Ladang Bape Wayan
Ini dia yang dibilang observasi partisipasi. Ketika kami kembali ke kebun karet, bape Wayan dan beberapa orang teman kami terlihat sibuk dengan membawa ember-ember berisi karet-karet yang tercetak seperti batok kelapa . Mereka naik dan turun bukit tanpa mengeluhkan rasa lelah. Bape Wayan terlihat sedang mendaki bukit dengan memikul dua buah ember berisi karet yang sudah berusia seminggu dan satu ember kecil berisi susu (getah karet yang encer karena baru disadap). Bape kemudian membawanya ke dekat lubang berbentuk bujur sangkar tempat perendaman pupuk tadi. Kemana memi Lilik ? sedari tadi kami tidak melihat dirinya. Ternyata memi Lilik sedang menderes dan mengutip di balik bukit. Perkebunan mereka terletak di sebuah bukit yang diselingi oleh jejeran tanaman sawit yang belum menghasilkan buah.
Lubang berbentuk bujur sangkar yang tadinya berisi rendaman air pupuk sudah kering. Entah bagaimana bisa kering. Mungkin mereka sudah menggunakan pupuk tersebut ketika kami tadi singgah sebentar di rumah kediaman bape Wayan Olas. Dalam lubang ini terdapat seutas tali yang sengaja dibentangkan. Kata bape tali ini gunanya untuk memudahkan nanti sewaktu mengeluarkan karet-karet tersebut dari lubang. Bape pun mulai menyusun karet-karet tersebut ke dalam lubang tersebut. Tangan bape terlihat sudah cekatan dan teliti dalam melakukan penyusunan ini. Satu ember karet tersebut tersusun rapi membentuk bujur sangkar mengikuti pola lubang tersebut. Menyusun karet tidak boleh terlalu renggang sebab akan membuat kualitasnya nantik menjadi jelek karena lembek dan mudah hancur. Lubang tersebut sudah terisi susunan karet kira-kira setengahnya.
inilah bahan-bahan campuran yang digunakan oleh bape untuk menambah bobot dari karetnya. Kata bape hal ini ia rahasiakan dari toke. Mengoplos merupakan perbuatan curang yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan petani karet. Adapun bahan-bahan campuran tersebut diantaranya adalah: lempeng (pasir putih), TSP sebagai pengental, satu ember susu (getah yang baru disadap), dan air untuk menyatukannya.
Lempeng merupakan bahan campuran yang bentuknya seperti pasir putih. Lempeng didapat dengan cara melakukan penambangan di sungai ataupun pada sebuah bukit. Tidak semua daerah di sini yang dikarunia oleh lempeng. Konon katanya dahulu pernah ada perusahaan dari Jepang yang bermaksud ingin menambang lempeng di daerah mereka. Lempeng berguna sebagai bahan utama dalam industri keramik yang sangat mahal harganya. Namun mereka mengurungkan niat untuk mendirikan perusahaan tersebut karena berdasarkan hasil survey bahwa ketebalan lempeng tersebut tidak memenuhi criteria
Semua bahan-bahan tersebut dicampur dan kemudian diaduk menggunakan pelepah kelapa sawit. Tak ada takaran yang baku dalam proses pencampuran ini. Asalkan campuran ini tidak terlalu encer dan tidak terlalu pekat. Setelah bahan-bahan tersebut tercampur merata, kemudian campuran tersebut disiramkan pada karet-karet yang telah disusun dalam lubang tadi. Bape tidak menyiramkan semua campuran ini, bape meninggalkan separuhnya. Kemudian bape kembali menyusun sisa-sisa karet sebanyak satu ember kecil di atasnya. Sisa campuran tersebut kembali dituangkan ke dalam lubang tersebut sampai merata. Kemudian perlahan adonan tersebutmulai membeku dan membuat karet-karet tersebut menyatu seperti agar-agar. Baru setengah lubang yang terisi.
Kemudian bapak kembali mendaki bukit untuk mengutip karet-karet dan susu yang lainnya. Di sini kami dengan sabar menunggu bape kembali. Kami duduk mengelilingi lubang cetakan karet tersebut. Bau karet yang khas sontak menggelitik indera penciuman kami.Sembari menunggu mengental kami ditemani oleh bli (abang) yang tadi nderes menggunakan piso nderes yang dikaitkan dengan bambu. Dia kelahiran tahun 1989. Ia di sini tinggal bersama istrinya setelah menikah. Ia sebenarnya tinggal di sebuah perkampungan yang terletak dengan jarak tempuh kira-kira setengah jam menggunakan kendaraan roda dua. “kalau adek melihat waktu kemari ada sebuah perumahan dekat titian (jembatan) yang terbuat dari jerajak besi, di situlah kampung saya”, tuturnya. Dahulu sebelum ia menikah, ia tidak pernah bertandang ke Kampung Bali ini.
Ia bercerita tentang kesejahteraan perekonomian masyarakat di Kampung Bali ini. Setiap rumah di sini pada umumnya memiliki kendaraan sepeda motor lebih dari satu per kepala keluarga. Masing-masing anggota keluarga memiliki sepeda motornya sendiri-sendiri. Anak lajang kampung bali pun terlihat lebih berkelas dibandingkan dengan anak lajang yang ada di sekitar kampung. Mereka memiliki sepeda motor Ninja dan King. Sepeda motor seharga puluhan juta yang mereka beli dengan uang cash. Tapi sekarang keadaan terlihat membalik, mereka sekarang malu menggunakan sepeda motor mahal tersebut. Mereka mulai menggunakan kendaraan biasa karena mengikuti tren kawan-kawannya. itulah kehidupan anak muda yang memiliki rasa persamaan yang sangat kuat. Mereka tumbuh bersama kea rah kemajuan. Di kampung ini pendidikan dan otak tidaklah begitu penting. Asalkan kita punya tenaga dan rajin kita sudah bisa menghasilkan uang. Anak muda yang mandiri dan sudah bisa menghasilkan rupiah tanpa harus membebani kedua orangtua mereka.
Tak lama kemudian bape Wayan kembali dari balik bukit dengan memikul ember-ember terakhirnya. Seperti yang tadi, kemudian karet-karet tersebut disusun di dalam lubang dan tidak lupa pula disirami dengan campuran penambah bobot yang dibuat olehnya. Lubang tersebut kini sudah penuh dan terlihat mulai memadat.
Kami pun beristirahat sejenak bersama bape menunggu karet tersebut benar-benar padat dan menyatu. Kami larut dalam pembicaraan santai. Sekali-sekali bape menggoyang-goyangkan tali tersebut untuk memastikan karet tersebut sudah benar-benar membeku.
Datanglah anak laki-lakinya yang masih bersekolah dasar mengendarai sebuah sepeda motor. Sepeda motor anaknya tersebut terjebak dalam sebuah lubang. Ia sedikit agak kesulitan untuk mengeluarkan sepeda motornya karena kakinya yang belum sampai. Akhirnya sepeda motor tersebut didorong oleh teman kami hingga berhasil keluar dari lubang tersebut. Bape meminta tolong anaknya tersebut untuk memanggilkan tukang yang nantinya akan mengangkut karet ini ke toke.
Ember-ember bekas tadi kemudian digelindingkan oleh memi Lilik hingga jatuh sampai ke dekat mata air. Benar-benar penghematan tenaga dengan memanfaatkan kondisi alam perbukitan. Tanpa merasa lelah dan dengan sisa-sisa tenaganya, memi melanjutkan mencuci pakaian sambil mandi di mata air.
Tak lama kemudian datanglah tukang angkut tersebut mengendarai sebuah sepeda. Motor. Ia kemudian menggoyang-goyangkan tali tersebut memastikan kalau karet tersebut sudah benar-benar padat atau belum. Setelah yakin bahwa karet terbut sudah padat, ia kemudian mengikatkan talinya pada sebilah kayu. Dengan bersusah payah ia mengangkat karet seberat 100 kilogram tersebut dibantu oleh bape Wayan. Akhirnya mereka pun berhasil menaikkan karet tersebut ke atas sepeda motor. kemudian karet tersebut diikat supaya tidak jatuh ketika diangkut. Bape harus mengeluarkan uang sebesar Rp.20.000 untuk proses pengangkutan karet ke toke ini.
Kami pun berpamitan untuk pulang kepada memi Mitri. Kami pulang melewati jalan pintas yang tadi ditunjukkan oleh bli. Kita harus sedikit berhati-hati karena jalannya sedikit licin dan kita harus melewati rawa-rawa. Jalan setapak ini ternyata benar-benar membawa kami sampai ke base camp lebih cepat daripada jalan yang tadi kami lewati ketika kami berangkat menuju ke kebun ini.
Toke Getah
Sesuai dengan informasi yang kami dapatkan dari Pak Wayan, kami pun mengahpiri toke langganannya. Toke langganan bapak letaknya tak jauh dari base camp kami. Toke ini terletak di depan masjid. Toke ini dimiliki oleh bape (bapak) Nyoman Kemis. Ia membangun usaha tersebut dengan modal Rp.50.000.000. Satu truk biasanya bisa memuat 4,5 ton karet. Ia mengeluarkan uang sekitar Rp.700.000 untuk pengangkutan karet-karet tersebut ke Kota Medan. Pabrik karet tersebut terletak di Kampung Lalang. Dia menjual karet-karet tersebut seharga Rp.25.000 sampai Rp.30.000 per kilonya di sana. Flugtuasi harga biasanya sudah dapat diprediksinya untuk menyusun strategi harga pembelian karet dari para petani.
Sedari tadi para pengangkut karet telihat mondar-mandir di areal ini. Kegiatan utama di sini adalah transaksi karet antara si petani dengan toke. Untuk mengetahui bobotnya karet-karet tersebut terlebih dahulu ditimbang. Untuk mengurangi kadar air yang terkandung di dalam karet maka dilakukan pembelahan menggunakan pisau. Uang pun langsung dibayar tergantung beratnya karet tersebut.
Biasanya orang Bali akan memilih toke sesama orang Bali. Mereka lebih percaya karena masih adanya rasa persaudaraan mereka yang begitu erat. Toke pun menjalin hubungan yang akrab dengan para petani karet. Misalnya saja yang terjadi pada siang hari itu. Toke tersebut mentraktir seluruh anggotanya meskipun hanya sepotong roti. Ketika para petani tersebut membutuhkan uang untuk keperluan modal, toke akan senantiasa membantu mereka. Namun syaratnya nantik ketika panen uang bayarannya akan langsung dipotong oleh toke.
Setelah ditimbang karet-karet tersebut diangkut satu persatu ke atas truk. Karena bobotnya yang begitu berat tidak mungkin satu orang untuk mengangkatnya. Butuh minimal dua orang pria dewasa untuk mengangkatnya. Untuk memudahkan pekerjaan tersebut mereka menggunakan sebilah kayu yang diletakkab di bawah karet tersebut. Sesampainya di truk karet-karet tersebut disusun dengan rapi. Setelah satu papan truk penuh terisi kemudian di beri ruang hampa. Sebuah papan dipasang membaring di atas ruang hampa tersebut. Kemudian sisa-sisa karet disusun kembali di atasnya. Hal ini dilakukan supaya kadar air karet tersebut berkurang. Terlihat air mengucur deras keluar dari truk membasahi jalan perkampungan. Nantinya karet-karet tersebut akan diangkut menuju pabrik di Kampung Lalang, Medan.
Setelah makan malam kami berbondong-bondong menuju pura besar untuk menghadiri undangan. Jalan gelap seakan terasa terang karena gembiranya. Sayup-sayup terdengar suara musik tradisional Bali dari salah satu rumah warga. Sesampainya di gapura masuk pura kami disambut oleh beberapa tetua kampung lengkap dengan pakaian Balinya. Kami pun diperingatkan kalau tidak boleh masuk bagi cewek yang sedang berhalangan.
Kami duduk pada alun-alun sebelah kanan berseberangan dengan alun-alun tempat duduk masyarakat sekitar. Menunggu berkumpul diputarlah musik tradisional Bali. Dengan keheranannya adik-adik di sekitar kami melontarkan pertanyaan kepada kami mengenai apa yang tengah dipersiapkan oleh teman-teman kami. Dengan sederhana kami menjawab untuk menampilkan photo-photo. Terlihat agak sibuk memang teman-temanku memasang layar besar, proyektor, beserta laptop. Setelah semuanya terpasang adik-adik tadi serempak berkata, “ooo computer”. Lalu seorang anak perempuan menyahut dari belakang, “ aku inginlah punya computer kalau sudah besar nanti”. Suara-suara malaikat calon penerus Kampung Bali ini ternyata memiliki cita-cita tinggi untuk lebih maju.
Acara malam ini diadakan oleh perkumpalan muda-mudi setempat. Namanya adalah Perkumpulan Suka Duka. Mereka sebenarnya sudah menyiapkan acara penyambutan ini jauh hari. Namun karena kedatangan kami yang tidak tepat waktu, mereka akhirnya membatalkan niatan tersebut.
Memi Lilik informan kami, tampak anggun dengan balutan pakaian Balinya. Sesekali ia melemparkan senyuman ramah dari kejauhan. Ia hadir malam itu sendiri tanpa didampingi bape Wayan suaminya. Ingin rasanya ku mendekati beliau. Mengucapkan ribuan terimakasih karena keramahan dan pengalaman luar biasa yang mereka berikan.
Malam penyambutan ini sekaligus merupakan malam perpisahan. Sepatah dua patah kata dari perwakilan kedua belah pihak. Bertukar cendera mata. Dan yang paling ditunggu-tunggu adalah penampilan tarian-tarian Bali. Dilanjutkan dengan penampilan slide photo.
Dan kemudian acara ditutup dengan photo bersama. Sesi photo bersama inilah yang memakan waktu yang cukup lama. Para penari pun tampak kelelahan diajak photo berphoto bersama. Mereka ditarik kesana kemari oleh teman-teman. Tapi mereka tetap ikhlas melemparkan senyuman meskipun tanpa bayaran. Berbeda dengan bli-bli (pemuda Bali) yang dari tadi sepi orderan. Tidak banyak yang mengajak mereka untuk berphoto. Photographer amatiran pun seakan seperti jamur di musim hujan. Kami tidak mau melewatkan moment ini. Karena dari photo-photo ini kami bisa bercerita panjang serta berbagi pengalaman kelak kepada anak cucu kami.
Di perjalanan rombongan teman-temanku menghampiri salah satu rumah warga. Mungkin mereka akan pamit batinku. Ku ikuti mereka dari belakang. Dadong, begitulah mereka menyapa seorang nenek renta si pemilik rumah. Kami salami seorang kakek dan nenek dan anaknya perempuannya yang bernama Wayan. Suasana kegembiraan sekejap berubah menjadi haru. Air mata salah seorang temanku tak dapat dibendung lagi. Ia menangis dipangkuan sang nenek. Begitu eratnya jalinan hati yang telah mereka rajut. Aku sengaja keluar, takut larut dalam suasana haru dan meneteskan air mata. Berkali-kali kami teriakkan ucapan selamat tinggal buat dadong dari kejauhan jalan.
Pagi-pagi sekali sekitar jam 05.00 aku sudah dibangunkan dari tidur lelapku. Entah mengapa aku lupa memasang jam alaram. Kami pulang dengan menngunakan mobil BKBN kepunyaan dosen. Barang-barang disusun memadati bagasi yang awalnya tidak mau tertutup rapat. Kami pun meninggalkan Kampung Bali ketika semua masih tertidur berselimut kabut subuh. Hingga esok pagi kembali ku buka mataku di hari yang baru, aku akan merasa kehilangan sesuatu. Aku akan begitu sangat merindukan keramah-tamahan masyarakat di sini. Sebuah pengalaman baru sarat makna kehidupan yang tak akan pernah ku lupakan di sepanjang hayat hidupku.