Tu
nenek na hami holongi, Nek Sugat . . .
Nenek. Iya izinkan aku sedikit
bercerita tentang beliau. Hanya sedikit saja yang mampu kuceritakan. Jujur aku
tak mengenali nenek secara mendalam. Wajar aku lahir dan dibesarkan di
perantauan. Ide menulis tentang nenek ini tiba-tiba merasuki fikiran dan hatiku
malam ini. Nenek yang mana yang akan kuceritakan? Nenek kami dari ibu,
Rosmaniar begitulah dulu nama nenek ketika dipanggil oleh penjaga loket di
rumah sakit Kota Bukittinggi ketika beliau berobat semasa aku masih
kanak-kanak. Bukannya sombong teman tapi ibu dan ayahku selalu memuji ingatanku
yang lumayan kuat kepada tamu-tamu yang datang. Berbekal ingatan ini kugoreskan
sepotong kisah bersama nenek.
Rosmaniar boru Lubis itulah nama
nenek kami. Beliau membesarkan anak-anaknya (ibu, mamak/tulang, dan etek) seorang diri setelah ompung kami
meninggal dunia. Nek Sugi demikian lah panggilan akrab yang diberikan oleh pahompu (cucu-cucu)-nya ini. Nenek Uji
seharusnya begitulah beliau disapa. Kenapa? Uji (Rahmat Fauzy Nasution) adalah
cucu pertama dari nenek kami. Biasanya nama cucu pertama ini akan melekat
dengan nama panggilan kekerabatan layaknya suku
Mandailing atau Batak kebanyakan. Aduh gini aja kukasih contoh aja ya
hehe, misalnya ompung uji (kakek
dengan cucu pertama bernama uji), nenek
uji (nenek dengan cucu pertama bernama uji), umak uji (ibu dengan anak pertama bernama uji), ayah uji (ayah dengan anak pertama
bernama uji). Jadi jangan berharap ada umak
eki, ayah eki karna aku anak kedua
dan ompung eki atau nenek eki karna aku cucu nomor empat. Jadi
nenek kami bisa juga dipanggil dengan umak
Rof (ibu kami anak pertama). Ok kembali ke cerita pemirsa. Panggilan nek
sugi atau nek sugat lebih populer, yang memberikannya adalah kakak kami
(Radhikalia Ferdana boru Lubis, cucu no 2 ini hehe). Kenapa? Ya karna si nenek menyugi atau martimbako. Nah orang kota mulai bingung wayo???? Nenek kami
mengkonsumsi tembakau, caranya dari gulungan tembakau itu diambilnya secubit,
hap langsung masuk baba (mulut), sugi
itu kemudian diincop (dihisap) hingga
manisnya habis kemudian ditempelkan pada gigi depan atas sehingga bibir pun
tampak agak membengkak dengan serabut tembakau yang sekali-kali nongol hehe.
Efeknya ya sama kek merokok, candu. Pernah sih kami coba berbuat seperti nenek,
maklum anak-anak sukanya meniru. Cuih langsung kami ludahkan karna rasanya yang
pahit. Akhirnya kami menggunakan serabut jagung rebus yang rasanya manis hehe.
Tapi kenapa ga nenek pining aja ya?
Secara kan nenek gemar makan buah pinang sehabis makan.
Holongan
dope roha ni nenek muyu on tu pahompu nia na di ranto pado na donok. Wesss
menurutku sih ga benar kata-kata tadi. Nenek sayang semua cucunya, bukan hanya
kami yang jauh di rantau tapi cucu-cucunya yang dekat di kampung halaman juga.
Mungkin perlakuan beda itu kami rasakan karna kami tidak dapat berjumpa setiap
hari dengan nenek. Paling tidak ya sekali setahun itu pun pas hari raya. Setiap
kedatangan dan kepulangan kami disambut dengan air mata dengan isakan serta
pelukan hangat. Aku paham apa yang solot
di bagasan rohamu nek, pasti bayangan masa lalu membayangi fikiranmu
saat-saat dahulu berkumpul bersama dalam sakitnya hidup kekurangan. Sekarang
telah berbuah kebahagiaan yang manis. Jamaah ooo jamaah alhamdu . . . . lillah.
Diingat neneknya pas kita ke kobun itu??? Umur berapa yak aku ari
tu??? Keknya belum masuk sekolah la itu hehe. Duduk tenang di boncengan kareta (sepeda). Orang-orang bilang ari
tu dah pas kek anaknya bodat hatcimmmmmmm. “Eki kalek ato-ato”, gitulah
nyanyian masa kecil karangan nenek khusus buatku. Pernah juga aku dibilang anak
yatim piatu karna ga mau ikut pulang ke kampung bapak. Di kampung ibu ini aku
diservice ala anak raja. Kebetulan ari tu emang lagi ga pengen makan aja. Wow ditawari
ini itu karna dikira merajook. Memasak lomang
dan alame sehari sebelum lebaran. Markelah (makan-makan bersama di suatu
tempat). Banyak lagi sebenarnya kenangan bersama nenek kami yang anti
jalan-jalan karna suka mabuk di perjalanan ini. Nenek yang tak pernah betah kalau
dibawa ke Kota Bukittinggi atau keluar dari kampung ini. Nenek yang tegar saat
melihat kematian dua orang puteranya (Mak Emris/ Ayah Bella dan Mak Pilin/ Ayah
Aufa).
Tuhan panjangkan umur nenek kami.
Hanya dia seorang yang sempat kurasakan kasih sayangnya. Ya aku tak sempat
mengenal sosok ompung dari ayah maupun ibu serta nenek dari ayah. Dalam perjumpaan
singkat pinomat ketika arrayo (lebaran)
aku mengenal sosok wanita yang tegar dan mengayomi di sini. Kita rangkai lagi
kisah-kisah baru ya nek hehe. Kami semua sayang nenek.