Siapa yang tidak mengenal seorang fakir tersohor bernama Mr. Limbad yang sering melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang mempertontonkan aksi kekebalan tubuh di layar kaca RCTI. Seperti seorang yang sakti mandraguna atraksi terbut tidak menyebabkan kecacatan pada tubuhnya sedikitpun. Hampir serupa dengan itu, di Kota Lubuk Pakam tengah dipertunjukkan atraksi yang sangat mencekam yaitu penusukan pipi, lidah, punggung dan anggota tubuh lainnya. Anehnya tak ada sedikitpun darah yang menetes dan rasa kesakitan saat mereka ditusuk.
Vell Muruga Vell, Vell Muruga Vell, Vell Vell Vetri Vell !!! Begitulah puji-pujian kepada Dewa Murugen yang disenandungkan ketika arak-arakan atraksi orang-orang dengan pipi, lidah dan badannya yang ditusuk dengan sebuah besi vell berbentuk trisula dan hati melintasi jalan-jalan utama di Kota Lubuk Pakam. Meskipun hujan terus mengguyur kota Lubuk Pakam hari itu Sabtu 19 Maret 2011 lalu , namun tak menyurutkan semangat Umat Hindu Tamil untuk melakukan suatu ritual tahunan Pangguni Uttiram di bulan kebesaran menurut penanggalan mereka tersebut. Upacara Pangguni Uttiram merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh umat Hindu Tamil demi pembayaran nazar kepada Dewa Muruga atau Murugen. Sebelum melakukan ritual peserta terlebih dahulu melakukan puasa terhadap semua makanan yang amis atau vegetarian selama 21-40 hari. Puasa yang gagal akan beakibat fatal pada saat dilakukan penusukan. Setelah melakukan sembahyang di Shri Thendayudhabhani Koil, dilakukan ritual mandi di Sungai Kuala Namu yang dianggap suci laksana Sungai Gangga di India. Perjalanan menuju Sungai Kuala Namu yang berjarak sekitar 3-4 km dari kuil ini ditempuh dengan berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki. Setelah dimandikan di sungai dan air asam peserta yang membayar nazar dicucuk satu-persatu menggunakan besi vel. VETRIVEL MURUGANEKE...AEROGARA!!! begitulah mantra yang diucapkan sehingga tubuh peserta mengalami kerasukan itulah yang menyebabkan mereka tidak merasakaan apa-apa saat ditusuk. Para peserta diarak kembali ke kuil. Acara arak-arakan tersebut turut dimeriahkan oleh penampilan barongsai dan kesenian India. Pada malam harinya dilakukan arak-arakan kereta kencana yang ditarik oleh dua ekor lembu jantan keliling Kota Lubuk Pakam.
Selamat Pagi Dunia
Sabtu, 19 Maret 2011. Waktu di hp ku menunjukkan pukul 04.33 WIB, saat ku terbangun dari tidur lelapku. Aku bangun terlambat 3 menit setelah jam alaram yang ku pasang berdering memecahkan keheningan subuh di kostan 18 Gang Dipanegara hari itu. Tidak mudah untuk membuka mata yang terus ingin tertutup rapat, apalagi di pagi yang dingin setelah diguyur hujan semalaman suntuk. 10 menit masih tergolek di tempat tidurku antara alam sadar dan tidak sadar, ku coba bangkit untuk mempersiapkan pakaian dan perlengkapan mandi. Dengan langkah yang sempoyongan ku melangkah menuju ke kamar mandi sebelah kiri. Selesai mandi dan berganti pakaian aku kembali ke kamarku yang di atas pintunya bertuliskan angka 4. Ketika itu aku ingat akan sebuah janji yang merupakan sebuah hutang yang mesti dilunasi. Ku bangunkan kerabatku itu melalui sms namun tak berhasil, ku telepon dia berkali-kali sampai aku yakin dia benar-benar sudah bangun. Terdengar suara malasnya untuk bangun pagi itu di ujung telepon. Ku lanjutkan aktifitasku. Ditemani tv mungilku ku buat catatan ini sambil menyeduh teh manis panas. 05.15 WIB sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang yang saling sahut menyahut dari beberapa masjid yang ada di sekitar kostanku. Ku tunaikan ibadah sholat subuh di atas sebuah sajadah dengan pinggiran berwarna biru tua di sudut kamar berukuran 3 x 4 ini. Pagi ini terasa lebih segar dan berenergi setelah ku seruput secangkir teh manis panas sambil menonton siraman rohani yang tengah disiarkan di TV. Ku ambil tas kuliahku. Ku masukkan ke dalamnya alat-alat tulis, sebotol air minum, dan yang tidak ketinggalan adalah almamaterku. Meski aku yakin tidak akan menggunakannya kelak tapi tetap ku bawa karena rasa banggaku sebagai mahasiswa FISIP USU. Pukul 05.50 dalam keterlelapan tetanggaku, ku bukak pintu gerbang kost yang terkunci. Ku langkahkan kakiku berangkat ke kampus dengan bermandikan embun subuh yang terbakar semangat.
Perjalanan PKL Tanpa Kata Praktek (Kerja Lapangan)
Sepanjang perjalananku menuju Pendopo USU aku ditemani beberapa orang yang terlihat agak heran karena melihatku sudah rapi dengan kemeja putihku menuju kampus pagi itu. Mereka adalah orang-orang yang tengah berolahraga lari pagi di sekitar kompleks kampus. Di jalan aku disapa oleh kawan-kawan yang menggunakan sepeda motor. Aku tak tau sipa dia karena wajahnya tak begitu terlihat jelas dengan bantuan cahaya remang-remang subuh itu. Akhirnya ku hentikan langkah kakiku di Pendopo Usu. Sudah banyak teman-teman yang berkumpul di sana. Ada sebuah angkot berwarna merah-kuning-putih bertuliskan AMELIA, angkot jenis KUPM M97 jurusan IKIP-AMPLAS-PERBAUNGAN dengan nomor polisi BK 14T2 DH. Inilah kendaraan yang akan mengahantarkan kami berburu data hari ini, kami menyewanya sebesar Rp.15.000 per kepala.
06.17 WIB dosen kami Kak Rytha Tambunan memberi kami sarapan berupa wejangan-wejangan demi lancarnya Kerja Lapangan nanti. Sekali lagi kami diingatkan untuk melakukan pencatatan segala sesuatunya karena daya penyimpanan otak kita tidak akan jauh sempurna seperti sebuah komputer. Kami diabsen berdasarkan kelompok. Kelompok 4 adalah bagianku. Dunia ini terasa begitu sempit saat ku tau kalau anggota kelompok 4 adalah sebagian besar anggota kelompok kami waktu PKL-1 di Bandar Baru dulu. Aku, Halimatussakdiyah sebagai ketua, Swandi Perdinan Hutapea, Imanda Hutapea, Kak Thia Ayu Arafah Nasution, Tripresar Jhon Tuan Panjaitan dan Marpanumpak Sinaga.
Kami memasuki angkot dan memilih bangku yang paling kami anggap paling nyaman. Siapa cepat dia dapat. Berhubung kami hanya menyewa satu angkot jadi kami harus pintar untuk menyusun strategi tempat duduk. Sisanya ada yang naik mobil pribadi dan sepeda motor. Jam 06.32 WIB kamipun berangkat dengan diiringi lagu-lagu jadul yang keluar dari radio sang supir. Di perjalanan kami terlihat menyibukkan diri masing-masing. Ada yang tidur, menikmati pemandangan, berfoto, bahkan ada yang becanda menggoda temannya. Ini dia bagian yang paling ku suka selama perjalanan, berbagi makanan. Meski harus menikmati makanan teman tersebut dengan aroma ikan kering yang kurang enak ketika kami melintasi Marendal. Saat itu pula aku tau apa maksud Kak Rytha tadi kalau cewek berjimat tak boleh masuk kuil, maksudnya yaitu cewek yang menstruasi. Sebuah pengetahuan yang ku dapatkan dari hasil menguping pembicaraan cewek-cewek di depanku. 07.02 WIB angkot kami berhenti di Jalan Tanjung Morawa (Medan Star) karena supir kami bertemu dengan kenalannya. Tak sampai semenit perjalanan pun dilanjutkan kembali.
Terasa sulit untuk menemukan jalan menuju kuil karena letaknya yang agak terpencil dari kota. Di sebuah persimpangan sang supir bertanya kepada seorang tukang becak yang menunjukkan jalan masuk menuju kuil melalui Simpang Deli Mas. supir pun mengucapkan rasa terimakasih dalam Bahasa Batak, mauliate lae katanya ramah. Angkot kami terus melaju dengan kecepatan tinggi. Masuk terminal Lubuk Pakam dan kembali berbelok memutar arah. Di Simpang Deli Mas supir bertanya kepada seorang bapak-bapak yang mengenakan peci haji, tak lupa ia mengucapkan nuhun atau terimakasih. Kami ikuti kata-kata tukang becak menelusuri Jalan Sultan Hasanuddin tetapi kuilnya tak kunjung tampak. Karena ragu salah jalan supir bertanya lagi kepada seorang pengendara sepeda motor Yamaha berwarna hijau. Ternyata jalan yang kami tempuh sudah benar. Benar saja tak lama kemudian kami sampai di kuil tersebut.
Bertandang Sehari di Shri Thendayudabhani Koil Lubuk Pakam
Kuil tersebut bernama Shri Thendayudhabani. Terletak di Jalan Sultan Hasanuddin, Pasar-3 Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumut. Sebuah bangunan berwarna oranye-kuning lengkap dengan kubah khas India ini terletak di sebuah pasar dan di depan kompleks ruko, letak yang strategis dan praktis untuk memudahkan membeli kebutuhan perlengkapan sembahyang seperti kembang, buah, dupa, kelapa, susu, dan lain sebagainya.
Ketika hujan gerimis mengguyur pagi itu, kami pun turun dari angkot yang kami sewa. kedatangan kami disambut oleh lambayan janur kelapa berbentuk setengah lingkaran, pada sisi kiri dan kanan gapura dikawal oleh dua buah batang pisang lengkap dengan buah dan jantungnnya. Di halaman kuil tampak kesibukan beberapa orang yang tengah bergotong-royong mempersiapkan tenda berwarna hijau putih dan sebuah panggung. Di sekeliling bangunan kuil dihiasi oleh janur dari daun kelapa muda dan daun mangga serta kerlap-kerlip lampu warna-warni. Bau dupa menyeruak menusuk indera penciumanku. Perlahan terdengar suara musik India dan suara gemericing lonceng dari dalam kuil. Upacara Pangguni Uttiram, begitulah tulisan berwarna orange di atas spanduk berwarna kuning yang disponsori oleh minuman berenergi, Extra Joss.
Penasaran dengan apa yang terdapat di dalam sebuah kuil, tanpa ragu-ragu dan sungkan ku langkahkan kakiku memasukinya. Agama tak menghalangi niatku untuk mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan selama tidak bertentangan dengan ajaran Tuhan. Kami boleh masuk kuil dengan syarat melepaskan alas kaki dan tidak dalam keadaan menstruasi bagi perempuan. Ku lepaskan sepatuku kecuali kaus kaki. Sepasang patung gajah dengan kalung bunganya menyambut kedatanganku di tempat suci itu. Banyak patung-patung dewa dan lukisan di sini. Agak sedikit berbeda dengan gapura tadi, di setiap tiang penyangga kuil tidak hanya dihiasi oleh batang pisang lengkap dengan buah dan jantungnya saja, melainkan ada juga rumpun tebu lengkap dengan daunnya. Tradisi etnik Tamil mengharuskan untuk menghias rumah atau tempat lain dimana upacara yang membawa keberuntungan seperti festival keagamaan, perkawinan, dll. Alasan mengapa mereka menggunakan pohon pisang adalah karena makna filsafat yang ada pada pohon pisan yaitu sebgai pemelihara dan penjaga kehidupan yang kokoh.
Perhatianku langsung tertuju pada persembahan yang terletak di depan altar utama. Persembahan tersebut terdiri dari nampan-nampan alumunium. Ada yang berisi kembang berwarna ungu, putih, dan merah hati. Nampan yang lain berisi buah-buahan yang terdiri dari apel merah putih, anggur, pier hijau kuning, jeruk mandarin, dan salak. 4 nampan berisi kerang-kerangan berwarna putih yang dihiasi oleh bunga-bunga ester ungu, merah hati, kuning sementara di tengahnya terdapat sebuah nampan berisi sebuah karang dengan ukuran paling besar dibentuk seperti vas dengan bunga-bunga ester dan daun mangga dibawahnya diletakkan dua pisang matang. Sebuah nampan berisi 9 macam kacang, kacang hijau, tanah, jagung, padi sebagai simbol kesuburan. Sebuah nampan berisi Kemenyan dan rempah-rempah dan bubuk cendana. Turut dipersembahkan pula susu dan margarine. Pada sebuah ember alumunium terdapat sebuah kelapa yang sudah dikupas kulitnya. Sebuah nampan berisi peralatan emas seperti lampu minyak sumbu, abu, air dalam kendi kecil,sebungkus bubuk berwarna coklat, berwarna hitam kecil melingkar obat nyamuk bila dibakar mengeluarkan aroma. Sebuah tungku yang terbuat dari batu bata berbentuk persegi panjang ditengahnya pasir didepannya makanan. Bangku kayu kecil, sirih abu berwarna hijau kuning merah putih coklat ada yg kosong. Di atas sebuah meja dengan taplak berwarna merah terdapat 6 buah belanga alumunium yang tertutup ada yang dibungkus dengan kain berwarna merah ada juga dibungkus dengan kain kuning di atasnya terdapat kelapa yang telah dikupas dan diberi warna kuning beserta tumpengan rangkaian bunga ester, kalung bunga, daun mangga,dan semacam akar-akaran serabut. Terdapat dua pisang matang berwarna kuning. Di sebelah barat kuil terdapat pula karangan kalung yang terbuat dari bunga-bunga. Lilin-lilin di sekitar persembahanpun mulai dinyalakan satu per satu.
Terlalu asik dengan observasi di dalam kuil yang sedang ku lakukan membuatku lupa untuk mengobservasi ritual yang sudah mulai dilakukan di luar kuil. Aku bergegas keluar kuil sambil memakai sepatu yang tak sempat lagi ku ikatkan talinya. Aku ketinggalan sebuah ritual berwudhu di sumur. Ketika aku datang, mereka tengah melakukan penyembahan kepada patung-patung dewa yang terletak di dalam rumah-rumahan berjumlah empat buah. Tiga buah rumah-rumahan terletak berderet dan satu terletak di depan ketiganya. Tampak pula seorang ibu-ibu berbaju biru bersama anak perempuannya tengah menyalakan lilin-lilin dan meletakkan beberapa permen jenis FOKS. Di dalam rumah-rumahan tersebut terdapat patung-patung dewa berkalung bunga dan bersarung kain berwarna kuning, lukisan-lukisan, lilin, rosario, kunyit yang sudah digiling dan diletakkan di atas selembar daun pisang, dan dupa. Pada rumah-rumahan yang terletak di depan malah ada patung dengan kain merah, pisang dalam kelapa yang sudah dibelah, kembang, dan koin-koin uang logam yang diletakkan di dalam air yang di atasnya mengapung lilin.
Seorang laki-laki tampak memutar-mutarkan api mengelilingi patung-patung tersebut. Para peserta pun menyembah patung-patung tersebut dengan sangat khusyuk bahkan mereka sampai bersujud di lantai tersebut. Setelah itu mereka menuju ke sebuah bangunan yang terletak terpisah dari kompleks rumah-rumahan tadi. Mereka menyebut bangunan ini sebagai pengawal luar. Agak berbeda sedikit dengan yang tadi pada bangunan ini terdapat sebuah meja persembahan berwarna biru tua yang terbuat dari batu keramik. Persembahan-persembahan yang diletakkan di atas meja tersebut tidak jauh berbeda dengan persembahan pada rumah-rumahan tadi. Ritual-ritual yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan ritual sebelumnya.
Selanjutnya sampailah mereka di depan pintu masuk kuil. Di sini terdapat sebuah patung berbentuk gajah yang dipakaikan kain berwarna kuning, kalung dari rangkaian bunga, dan penutup kepalanya sebuah kain berwarna merah muda. Patung ini terletak di depan tiang bendera kuil yang dililitkan dengan kain berwarna kuning. Puja kepada Dewa Ganesha untuk memohon perlindungan kemudian pemujaan kepada Dewa Murugan.
Lagi-lagi ada yang mengingatkan kami kalau tidak boleh mengenakan alas kaki selama upacara berlangsung. Kami di suruh untuk meletakkan alas kaki pada tempat yang sudah disediakan. Ku letakkan sepatuku di tempat tersebut. Ku ikuti upacara dengan menggunakan kaus kaki ku yang sudah robek. Kaus kakiku menjadi kotor dan basah karena mengikuti ritual di luar kuil ketika hujan tengah mengguyur. Tapi semangat mereka sedikitpun tidak surut untuk tetap melekukan persembahyangan. Rasanya malas menginjakkan kakiku yang kotor ini ke dalam kuil yang suci. Karena tidak ada yang melarang aku tetap menggunakannya tetapi dengan persiapan mental terlebih dahulu kalau seandainya nanti dimarahi.
Mereka memasuki kuil. Di sini kami diperingati kalau tidak boleh mengambil gambar terlalu dekat dan membelakangi dewa demi kekhusykuan sembahyang. Dewa yang dimaksud adalah Dewa Muruga atau Murugen.
Pangguni adalah penanggalan dalam almanak Hindu yang dikatakan bulan Pangguni sedangkan Uttiram merupakan susunan planet posisinya dalam cahaya penuh, sehingga pada bulan purnama merupakan simbol dari kebesaran Tuhan. Umat Hindu meyakini, merayakan Pangguni Uttiram saat bulan penuh akan mencapai penerangan yang sempurna. Perayaan Pangguni Uttiram biasanya dilakukan pada bulan Maret atau April pada penanggalan kalender Masehi.
Acara ini diikututi oleh semua umat seluruh Indonesia bahkan dunia, khususnya umat Hindu Tamil dan Budha atau Tionghoa. Sebelum melakukan ritual tusuk anggota badan, mereka diwajibkan berpuasa terlebih dahulu selama sebulan (21-40) hari. Mereka berpuasa seperti seorang vegetarian yang tidak boleh memakan makanan yang berbau amis. Dulu selama mereka melakukan pusa, mereka diwajibkan tinggal di dalam kuil tapi sekarang tidak diwajibkan lagi karena alasan pekerjaan. Asal mereka bisa menjaga diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa mereka. Kalau puasa mereka tak sungguh-sungguh maka akan celaka ketika ditusuk. “Ritual ini hanya boleh dilaksanakan oleh keturunan Dewa Murugen saja, kami keturunan Dewa Syiwa jadi tidak boleh melakukannya”, tutur salah seorang ibu kepada kami.
Dewa Murugen adalah putra kedua Dewa Syiwa, ibunya bernama Sakti, dan dia mempunyai seorang kakak bernama Ganesha. Mengenai bangunan yang terdapat di luar itu adalah Amen dan Siwen yang merupakan istri dari Dewa Syiwa. Mereka sebenarnya satu tapi dalam wujud yang berbeda atau dalam bahasa Indianya disebut dengan milachi. Sementara bangunan yang terletak paling luar adalah demen atau penjaga luar. Yang di sebelah kiri pintu masuk adalah penjaga Dewa Murgen. Patung yang berbentuk gajah namanya Ganesha, berjumlah 3 buah, yang di luar adalah abangnya yang melindungi adik kembarnya yang terdapat di tangga dalam kuil. “Sebenarnya semua agama itu sama yaitu menyambah satu Tuhan, begitu juga kami biarpun banyak dewa tapi kami punya satu dewa yang paling tinggi yaitu Dewa Syiwa”, tambahnya.
Tampak tua muda laki-laki perempuan tengah khusyuk menyembah patung-patung dewa, termasuk patung Dewa Murgen atau Muruga. Sebelum ritual sembahyang dilakukan seorang laki-laki yang hanya mengenakan kain sarung berwarna putih menyalakan sebuah lilin. Api lilin yang dianggap suci dan berkat tersebut kemudian dipergilirkan umat, di kedua telapak tangan lalu dihapuskan ke wajah mereka. Kemudian mereka sujud di depan altar Dewa Murgen.
Tampak pendeta sedang mengepal sesuatu yg diambil dari bungkusan daun pisang, yaitu kunyit yang sudah dilumatkan. Kepalan tersebut diberinya warna merah dan kuning kemudian diletakkan pada sebuah daun pisang yang ukurannya lebih besar di depan sebutir kelapa yang sudah dikupas kulitnya dan dikekilingi rangkaian kalung bunga.
Ketika ku melirik jam dinding yang ada di kuil waktu menunjukkan pukul 08.05 WIB. Pendeta yang hanya mengenakan kain sarung berwarna-warrni (hijau, merah, merah muda, oranye muda, ungu dan emas) tersebut membunyikan lonceng sambil membaca mantra-mantra selama beberapa menit. Kemudian pendeta tersebut memilih bunga yang terdapat di dalam nampan alumunium. Dilanjutkan oleh asistennya yang mengenakan kain sarung berwarn putih yang mencabut sisa serabut di ujung kelapa dan akhirnya kelapa tersebut dibelah dua menggunakan kampak, air kelapa dan kelapa yang sudah dibelah diletakkan di dalam sebuah baskom alumunium. Dengan serentak para jamaan menyebutkan sebuah kata yang bisa diartikan seperti kata amin. Setalah dimatikan lampu dinyalakan kembali dan semua jamaah berebut untuk mensucikan diri menggunakan api berkat tersebut dengan cara mendekatkan du telapak tangan kepada api kemudian mengusapkannya ke wajah. Sisa airnya kemudian dipercikkan di sekeliling kuil oleh seorang laki-laki dengan kain sarung berwarna ungu.
Para peserta kemudian diberikan sebuah gelang yang terbuat dari benang dan kunyit. Sewaktu memasangkannya tangan peserta diletakkan di atas sebuah kelapa yang sudah dikupas kulitnya. pendeta akan mengikat tangan kanan peserta nazar dengan Kangenam (benang yang telah dioleskan kunyit dan diikatkan kunyit pada benang tersebut ). Hal ini dilakukan agar peserta nazar terbebas dari gangguan energi negatif.
Terdengar suara perintah dari michrophone untuk segera membawa kavadi-kavadi ke dalam kuil. Kavadi merupakan sebuah alat penyangga berbentuk busur terbuat dari kayu yang dihiasi dengan kain, dedaunan, bunga dan bulu merak. Kavadi ini nantinya akan disandang di atas bahu kanan dan digunakan untuk menari mengikuti irama syair pemujaan terhadap Dewa Murugen. Ada banyak jenis kavadi diantaranya adalah Wepelai Kavadi (Kavadi yang di hias dengan dedaunan atau daun mint), Puspam Kavadi (Kavadi yg dihiasi dengan bunga), Maiil Kavadi (Kavadi yang dihias dengan bulu merak), dan lain sebagainya. Penggunaan bulu burung merak berkaitan dengan kendaraan Dewa Murugan dalam menyelamatkan umat.
Kavadi-kavadi tersebut kemudian dibacakan mantra, diperciki air dan diberi berkati menggunakan api pemberkatan. Kemudian para jemaah yang sebahagian besar adalah peserta nazar berbaris dengan tertib untuk antri mendapakan sebuah tanda di keningnya dari abu sebagai tanda perestuan dari pendeta.
Musik India pun diputar. Kemudian vel atau besi dan jarum yang berbentuk trisula dan berbentuk hati pun dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Vel ini merupakan senjata-senjata yang digunakan oleh Dewa Murgen. Besi-besi inilah nantinya yang akan digunakan untuk ritual penusukan anggota tubuh. Mereka mengelilingi kuil dengan membawa kavadi-kavadi dan vel-vel tersebut. Kavadi dan vel tersebut kemudian disemayamkan di depan patung pengawal Dewa Murugen, kemudian mereka membungkusnya dengan karung beras.
Aku dan beberapa orang kawanku memutuskan untuk meninggalkan ritual sejenak, bermaksud untuk mengisi perut. Kami berfikir kalau perjalanan nanti menuju sungai yang berjarak sekitar 3-4 km akan membutuhkan energi yang banyak. Kami pun makan di sebuah warung nasi sederhana di pasar depan kuil. Mayoritas penduduk yang berjualan di sini adalah Etnis Batak. Kami mendapatkan sebuah informasi mengenai lokasi keberadaan kuil dari hasil perbincangan kami dengan Boru Siahaan, si pemilik warung nasi. Kedatangan kami ternyata membuat masyarakat sekitar merasa heran. Mereka pun melontarkan beberapa pertanyaan kepada kami untuk mengobati rasa penasarannya.
Sungai Kuala Namu, Perjalanan 3 Kilo Meter Pertamaku Tanpa Alas Kaki
Kembali ke kuil tidak lupa kami lepaskan alas kaki. Mereka sudah bersiap-siap di halaman kuil untuk menjalankan ritual mandi di sungai. Kavadi-kavadi dan vel-vel diangkat ke lokasi ritual mandi menggunakan sebuah mobil pick up. Sesuai dengan kebiasaan masyarakat kami pun ikut berjalan sejauh tanpa alas kaki. Seperti tidak mau bersatu dengan masyarakat ada juga beberapa orang teman yang tetap bertahan menggunakan alas kakinya.
Hujan gerimis masih terus mengguyur. Salah seorang kawanku meminjamkan jaketnya yang berwarna oranye. Dengan baju kemejaku yang berwarna putih dan jaket pinjaman ini membuatku terlihat lebih senada dan dengan masyarakat Tamil. Sepayung berdua kami terus berjalan membuntuti tiga orang wanita berpakaian kuning yang sedang membawa susu di dalam belanga.
“Nggak apa-apa kan kakinya?”, sapa salah seorang wanita yang mengenakan sari dari arah sampingku. Ku balas dengan senyuman. Sapaan ramah tersebut membuat semangatku pulih kembali untuk tetap berjalan menapaki kaki yang sebenarnya sudah seperti mati rasa ini. Perjalanan dari kuil menuju sungai berjarak sekitar 3 sampai 4 kilometer.
Di jalan aku melihat ada sebuah persembahan yang diletakkan di pinggir jalan di depan sebuah toko ethnis Tioghoa. Sesajian buah-buahan di atas sebuah nampan lengkap dengan dupanya. Ternyata memang benar kalau Pangguni Uttiram tidak hanya dirayakan oleh Umat Hindu Tamil melainkan Orang Tionghoa pun ikut merayakannya.
Sungai Kuala Namu mendadak dipenuhi oleh lautan manusia yang penasaran akan ritual ini.Sungai ini dianggap suci oleh Umat Hindu Tamil seperti Sungai Gangga di India. Di sini dilakukan sembahyang dengan persembahan dan dupa. Perlengkapan-perlengkapan ritual seperti vel besi dan kavadi-kavadi dipersiapkan dan diletakkan sesajian dan dibakarkan dupa di depannya. Meminta izin kepada Dewa Murgen. Seseorang yang baru saja makan makanan amis dan wanita dilarang mendekat kerena bisa membuat puasa peserta batal dan akan berakibat fatal ketika dicucuk.
Tampak beberapa orang wanita dan lelaki yang menjunjung sebuah belanga yang terbuat dari logam dan diikat dengan kain berwarna kuning. Belanga-belanga tersebut berisi susu yang nantinya digunakan untuk memandikan patung Dewa Murugen. Mereka kembali pulang menuju kuil sambil menjunjung belanga susu tersebut.
Peserta ritual terlebih dahulu mandi dengan menceburkan dirinya ke dalam sungai. Berbeda dengan peserta laki-laki yang berendam sampai kepalanya tenggelam, peserta wanita tidak membasahi kepalanya. Bau dupa dan air jeruk nipis bersatu dan langsung menusuk kepala. Setelah menceburkan diri ke sungai mereka kemudian dimandikan oleh air rendaman sayatan jeruk nipis. Air ini mereka ambil dari sungai. Sisa-sisa persembahyangan berupa dupa dan lain sebagainya yang sudah digunakan kemudian dihanyutkan ke sungai.
Ritual tusuk anggota tubuh ini dipimpin berapa pendeta yang akan membimbing belasan pria dan wanita menjalani prosesi ritual menusuk anggota tubuh sembari membacakan mantera dan membuat sesajian membakar dupa memanggil roh yang diyakini dapat mengawal para peserta pangguni utiram.
Setelah itu pendeta akan membacakan mantera-mantera suci untuk meminta izin kepada Dewa Murugan, energi positif itu akan masuk kedalam badan salah satu pendeta dan beliau akan merestui para peserta nazar dengan cara memakaikan Vibuthi atau abu suci di dahi mereka.
Setelah semua peserta dibariskan, mantra-mantra dibacakan sehingga tubuh peserta ritual mengalami kerasukan. VETRIVEL MURUGANEKE...AEROGARA!!! . Di sinilah pipi kanan mereka ditusuk dengan sebuah vel besi berbentuk trisula dan hati sehingga tembus ke pipi kiri. Ada juga yang ditusuk di lidahnya. Anehnya tidak ada darah yang keluar ketika mereka dicucuk. Inilah yang disebut dengan ritual tabut yaitu menusuk tubuh seperti lidah, pipi punggung dan perut/rusuk hingga tembus dengan berbagai besi dan kawat berbagai ukuran.
Salah seorang warga tionghoa, pipi dan lidahnya ditusuk seperti tanda tambah menggunakan Vell (logam penusuk) kecil dan tusukan pada tubuh lainnya (punggung, perut bagian depan dan belakang) ia menggunakan sebuah mahkota setinggi kira-kira dua meteran bertahtakan kavadi-kavadi kecil yang dihiasi rangkain bunga, kalung-kalung, bulu merak, dan sebuah belanga tertutup berisi susu di atasnya. Beratnya mahkota tersebut terlihat begitu ringan dan enteng ketika dia menari dan melompat-lompat. Lompatan-lompatan tersebut menimbulakn bunyi suara gemerincingan.
Seorang pemuda Tamil yang mengenakan kain sarung berwarna oranye, tidak hanya pipinya saja yang ditusuk dengan besi vell. Di badannya bergelantungan asam-asam yang dihiasi bunga dipasang dengan cara disematkan menggunakan peniti seperti mata kail.
setelah ditusuk anggota tubuhnya, bekas penusukan tersebut dilumuri dengan tepung berwarna putih. Kemudian mereka dibariskan di pinggir sungai. Jika mereka didekatkan maka mereka akan marah dengan suara rintihanya yang sangat histeris. Mereka diberikan makan buah asam. Sekejap buah asam itu habis dan ia meminta kembali buah asam yang baru.
Arak-Arakan Keliling Kota Lubuk Pakam
Selanjutnya dilakukan arak-arakan pulang kembali menuju kuil. Pak polisi dan beberapa orang pemuda kulit hitam terlihat begitu sibuk mengatur kelancaran lalu lintas di atas sebuah jembatan yang melintasi sungai tersebut. Barisan pun mulai diatur, yang pertama adalah barongsai, kemudian kesenian india, dilanjutkan barisan peserta yang ditutup dengan peserta Etnis Tionghoa yang menjujung kavadi setinggi dua meteran dan seorang pemuda Tamil dengan kavadi seperti rangkaian papan bunga besar. Arak-arakan ini dimeriahkan oleh Barongsai Singa Mas dan group musik khas India bernama Tri Sulem Sakti. Di sepanjang perjalanan para peserta beratraksi. Ini membuat jalan-jalan utama di Kota Lubuk Pakam macet karena antusias warga yang besar.
Vell Muruga Vell, vell Muruga vell, vell vell Muruga, vell vell vetri vell, vell vell irra vell. Begitulah lantuan senandung puja-paujaan yang meraka kumandangkan sahut menyahut terhadap keagungan Dewa Murugen. Mereka melakukan nyanyian pemujaan tersebut sambil berjoget menghentakkan kaki dan bertepuk tangan. Kavadi-kavadi yang mereka letakkan di atas bahu kanan pun ikut mereka ayun-ayunkan sambil berjoget. Para peserta nazar yang tengah kerasukan pun ikut menari kala itu. Orang etnis Tionghoa yang membawa kavadi raksasa pun ikut menari dan melompat-lompat sehingga besi-besi yang mensuk kulit rusuk, punggung dan dadanya lepas berserakan di jalan. Besi tersebut dikumpulkan untuk kemudian ditusukkan lagi ke badannya. Tapi ada juga sebagian peserta yang terlihat enggan berjoget dengan menujukkan air muka yang garang meskipun sudah dibujuk dengan tepukan-tepukan sekelompok muda-mudi kuil.
Nyanyian pujian tersebut dibawakan oleh sekelompok orang berbaju kaus lengan panjang berwarna biru dan sarung berwarna oranye dan ada juga yang berwarna kuning, mereka bernama Tri Sulem Sakti. Sekelompok orang yang terdiri dari beberapa orang penabuh gendang, satu orang pemain gemerincingan panjang, dan satu orang penyayi yang membawa toa di bahunya.
Terkadang mereka tiba-tiba berhenti dan terlihat seperti merajuk. Mereka berdiam diri seperti patung tidak mau berjalan. Inilah yang membuat perjalanan semakin berjalan lama. Tapi setelah dibujuk-bujuk mereka pun akhirnya mau melanjutkan perjalanan.
Berbeda dengan jalan yang dilewati ketika perjalanan menuju Sungai Kuala Namu tadi. Rute jalan yang dilewati arak-arakan ini kembali menuju kuil terasa lebih jauh dan panjang. Jalan-jalan yang dilewati antara lain adalah Jalan Dr Sutomo, Jalan Tuanku Imam Bonjol, Jalan Raja Muda, Cik Ditiro dan sampailah ke kuil di Jalan Sultan Hasanuddin. Di setiap persimpangan jalan yang telah kami lewati ditandai dengan sebuah lilin dan api.
Ada beberapa posko disepanjang jalan sebagai tempat persinggahan sementara dan mempertunjukkan atraksi. Pertama adalah Sakura Photo. Di sini ada sebuah tenda dan dari dua buah speker besar dilantunkan lagu-lagu rohani India. Sakura Photo ini dimiliki oleh seorang beretnis Tionghoa. Pada saat itu tampak seorang perempuan telah bersiap-siap dengan sebuah ember berisi air berwarna kuning yang terbuat dari kunyit. Air tersebut kemudian disiramkan ke seluruh peserta nazar. Ada yang disiram sekujur tubuhnya dari ujung kepala akan tetapi ada juga yang disiram pada kakinya saja.
Di tempat persinggahan lain tampak orang keturunan India Tamil sudah menyiapkan embernya yang berisi air jeruk nipis. Air ini kemudian dimandikan ke tubuh peserta mulai dari ujung kepala tetapi ada juga yang hanya disiramkan ke kakinya saja.
Di sepanjang perjalanan arak-arakan tersebut terkadang para peserta di beri minuman air mineral cup dan ada juga yang makan buah asam dengan bringasnya. Setelah mereka mengunyah asam hingga airnya habis dihisap, ampasnya mereka lambungkan ke udara sehingga terkadang lemparan tersebut mengenai warga yang tengah asyik menonton.
Penasaran dengan air asam, buah asam, dan air kunyit kami coba bertanya kepada salah seorang nenek yang dari tadi mengiringi rombongan ini. Nenek itu bilang kalau hal tersebut akan membersihkan diri dan membuat mereka terlihat lebih suci, mereka sangat menyukai hal tersebut. Masih dari nenek tersebut, tidak semua peserta yang dirasuki oleh dewa, orang etnis Tioghoa yang membawa kavadi besar katanya tidak ada dewa yang merasukinya. Anak laki-laki kecil yang memegang cambuk dan yang didepannya itu adalah sepasang dewi-dewi yang terlihat begitu kompak. Ada juga pria berpostur jangkung yang mengenakan sandal bakiak berduri paku, itulah pengawal Dewa Murgen.
Aku sedikit terkejut ketika salah seorang peserta yang tengah kerasukan itu melihatku dengan tatapan matanya yang tajam serta membentak karena rasa marahnya yang menggebu-gebu. Ternyata dia marah bukan kepadu tetapi orang yang ada di sampingku. Aku tau kenapa dia marah, itu dikarenakan ada yang menggunakan sandal. Tidak seorangpun yang mengikuti upacara dan di sekitar upacara dibenarkan menggunakan alas kaki. Tidak segan-segan nanti peserta yang tengah kerasukan melibas orang tersebut menggunakan cambuk.
Dari Kuil Berakhir di Kuil
Arak-arakan pun berakhir di kuil. Karena padatnya penduduk aku tidak bisa lagi masuk ke dalam Kuil untuk melihat besi-besi tersebut dicabut. Menurut cerita dari teman-temanku ada yang pingsan pada saat pendeta melepaskan besi yang menusuk di pipi, badan, dan lidah mereka. Di dalam kuil sedang dilakukan persembahyangan. Akan tetapi saya tak dapat lagi mengikutinya dikarenakan padatnya masayarakat sekitar yang begitu berantusias. Sesekali orang-orang tersebut ketakutan karena dikejar oleh peserta yang terlihat marah dengan membawa sebuah cambuk. Ya mereka melanggar ketentuan yang telah disepakati, mereka menggunakan alas kaki.
Duduk di tenda sambil menikmati jus segar gratis dan alunan lagu-lagu India mengobati rasa lelahku setelah berjalan jauh tanpa alas kaki. Lagu-lagu yang mereka mainkan adalah lagu-lagu pujaan kepada dewa. “kami juga sering tampil di USU, nggak cuman lagu kebaktian saja, lagu apa saja bisa”, tutur pemain keyboard tersebut kepada kami.
Kami dijamu makan siang di sebuah aula yang terletak di samping kuil. Jangan berharap anda akan menemukan menu yang berbau amis sperti ayam, ikan, daging,dll di sini. Menunya terdiri dari sayur-sayuran, kacang-kacangan, gulai kentang dengan kuahnya yang sangat kental. Untuk lidah kita yang tak terbiasa dengan makanan India, rasa asam yang sangat mendominasi. Karena kebiasaanku setiap mau makan membaca bismillah, ini membuat heran Orang Tamil yang duduk di antara kami. Suapan pertama terasa berat dan sangat lama rasanya untuk mengunyah. Tapi suapan berikutnya lidahku sudah bisa beradptasi. Demi menghormati tuan rumah makanan ini harus dihabiskan.
Setelah makan kami meminta es cream gratis. Ketika itu kami bertemu dengan orang Tionghoa peserta nazar yang tadi membembawa Vell Kavadi setinggi dua meteran yang dihiasi dengan bulu merak dan perhiasan-perhiasan. Dari wawancara yang kami lakukan ternyata dia tidak mengalami rasa sakit sedikitpun. Tampak bekas meski tidak berdarah di pipinya ketika ia tersenyum. Darinya pula kami mendapatkan pengetahuan tentang perbedaan Budha dan Tioghoa. “kalau Budha itu hanya ritual-ritual saja dengan membaca mantra, namun kalau Tionghoa mesti ada kesurupan seperti ini”, tuturnya.
Kuil pun makin ramai dengan berbagai aktifitas di dalamnya. Ada atraksi barongsai dan pembekalan doa keselamatan. Seketika itu banyak dari kawan-kawanku yang minta untuk didoakan oleh pendeta. Mereka diminta untuk menyebutkan nama, kemudian pendeta memeberikan doa keselamatan kepada Sang Penguasa, mereka kemudian diberikan sebuah gelang berwana merah yang terbuat dari benang.
Halaman kuil ini disulap menjadi sebuah tempat berjualan dan mencari nafkah oleh beberapa orang. Salah satunya adalah seorang ibu dengan anak perempuannya. Tunggu sepertinya wajah mereka sudah tidak asing lagi di mata kami. Ya mereka adalah informan yang kami wawancarai ketika persembahyangan tadi pagi. Pepatah sambil menyelam minum air memang sangat cocok begi mereka. Mereka datang ke kuil bukan hanya sekedar untuk beribadah, melainkan untuk berjualan pernak-pernik wanita khas india seperti gelang-gelang, pewarna kuku, perhiasan yang ditempelkan di dahi, dan lain sebagainya. Sontak para perempuan langsung meramaikan stand mereka, begitu juga halnya dengan teman-teman penulis. Karena tidak ada pesaing maka ibu dan anaknya tersebut menjadi penguasa tunggal dengan merauk keuntungan yang lumayan besar. Barang dagangan mereka juga memperkenalkan kepada kita terutama para perempuan mengenai segala pernak-pernik untuk berias menambah kencantikan seorang wanita India.
Sebuah Kereta kencana pun dikeluarkan dari tempat penyimpanannya (di sebelah aula di belakang kuil) dan diparkiran di halaman kuil. Sebuah kereta berbentuk rumah-rumahan, warna kuning mendominasinya, badannya persegi tujuh, terdapat tiang-tiang penyangga yang membentuk sebuah jendela yang menopang sebuah kubah di atasnya, memiliki empat buah roda kayu yang membuatnya bisa bergerak. Kereta kencana ini dihiasi dengan lampu-lampu beraneka warna dan rangkaian kalung bunga. Kubahnya di kelilingi oleh beberapa patung malaikat bersayap dan lampion warna-warni. Pada kereta ini terdapat beberapa gambar yaitu ayam jago- merak-teratai-merak ayam jago-ular-sapi. Gambar-gambar ini melambangkan kendaran yang digunakan oleh Dewa Murgen dalam menyelamatkan umat dari bencana. Beberapa orang tengah sibuk membersihkan kereta ini. Nantinya patung Dewa Murgen akan diletakkan ditengah-tengah kereta kencana ini. Kerata kencana ini nanti malam akan ditarik oleh dua ekor lembu jantan keliling Kota Lubuk Pakam. Inilah puncak dari acara Pangguni Uttiram.
Medan, Sambutlah Kepulangan Kami dengan Segudang Data dan Pengalaman
Jam 16.00 WIB angkot kami datang menjemput. Sempat ragu untuk menaikinya karna bukan angkot ini yang mengantarkan kami tadi pagi. Kami naik ke dalam angkot memilih bangku yang kami sukai meskipun ada yang berteriak kalau duduk seperti posisi tadi. Sebuah pengalaman baru yang sangat berharga sekalian menempa mental kami untuk menjadi seorang antropolog sungguhan. Namun sayang sekali rasanya tidak bisa melihat arak-arakan kereta kencana nanti malam yang merupakan puncak dari acara Pangguni Uttiram ini. Sepanjang perjalanan pulang mendadak aku sedikit merasa sakit kepala sehingga terlihat lebih banyak diam. Sakit kepala karena bau dupa yang menghantuiku dalam beberapa hari kemudian dan hutangku membuat sebuah karangan deskripsi narasi sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman yang menuntut untuk segera dilunasi. Aku salah menganggap daya ingatanku terlalu hebat sehingga tidak melakukan pencatatan seperti yang telah diwanti-wantikan oleh Kak Rytha tadi pagi. Aku hanya membuat catatan-catatan kecil di telepon genggamku.