Kamis, 28 Juni 2012. Harusnya aku berbahagia karna sebentar lagi akan berjumpa orang tua di tanah kelahiranku di Barat Sumatera ini. Tapi entahlah hatiku seolah mendua. Seperti salah langkah. Harusnya terlebih dahulu aku mengajukan judul skripsiku pada dosen pembimbing akademik dan departemen. Setelah disetujui (baca: ACC), baru tenang mengerjakan proposal penelitian sambil melakukan observasi awal di kampung kami di perbatasan sana. Tiket sudah di tangan dan sayang kalau uangnya harus dipotong sekian parsen hanya karna pembatalan. Kukuatkan hatiku untuk pulang dengan syarat aku harus kembali semester depan dengan proposal penelitian sudah di tangan, bahkan mungkin beberapa lembar skripsi.
Jam dinding kamar sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Gawat aku udah telat. Dengan tergesa-gesa kukemas barang-barang keperluanku ke dalam tas kain hitam dengan lambang PSBI (Parsadaan Simbolon Dohot Boruna Indonesia) dan rumah adat Batak di atasnya. Berat juga ternyata barang-barang keperluan selama beberapa bulan ini. Padahal cuman beberapa stell pakaian, makan dan buku benakku. Dengan tergopoh-gopoh ku tinggalkan kost ku di Gang Dipanegara tanpa pamit pada siapa pun. Tak ada orang yang kukenal karna semua tampak sibuk dengan aktifitasnya. Kuambat angkot 135 jurusan Amplas dan sejurus kemudian setelah menembus kemacetan aku sampai di Pull ALS Kota Medan. Satu lembar rupiah Rp.2.000 dan dua keping uang logam Rp.500 kubayar kepada supir.
Seperempat jam lagi sudah jam 12.00 WIB. Dengan cepat-cepat aku menyebrangi jalan raya. Bukan karna takut telat atau tertabrak mobil. Aku malas dengan para calo liar yang mencoba menjaring penumpang yang mangkal di depan loket resmi. Meski sudah menolak terkadang mereka suka ngeyel. Terkadang aku harus bohong hendak kemana supaya mereka berhenti merayuku dengan janjian bangku bus harga termurah.
Nafasku terasa sesak dan kuhempaskan tas kainku di dekat bangku ruang tunggu. Tiket mana tiketku teriakku dalam hati sambil merogoh kantong tas. Kulaporkan tiket itu pada casher. 239 begitulah tulisannya di depan tiketku seraya menambah beberapa stempel di dalamnya. Bus 239 belum parkir di luar sana, yang ada hanya 237 jurusan Medan-Padang. Mencoba bersabar dan rasanya AC dan TV ruangan tersebut tidak mampu membuatku merasa nyaman. Ada yang ganjil di sini, nomor bus 239 seperti asing di telingaku. Keraguanku semakin menjadi-jadi saat orang yang ada di depan, belakang, kiri dan kananku yang hendak berangkat ke Padang memegang tiket dengan nomor 237. Dengan sabar kucoba menanyakan pada casher. Mana tau dia salah tulis tapi aku malah seperti yang disalahkan. Jam 13.00 WIB bus 237 meninggalkan pull. Astaga smoga kakak ini tidak salah dalam hatiku terus menggerutu. Aku kembali mendatangi kakak itu karena mobil 349 yang tak kunjung datang. Aku cuman disuruh sabar.
Iseng-iseng untuk menjawab rasa penasaran kumanfaatkan layanan PT ALS FC via fanspage Facebook. Astaga . . . . Dari fanspage kekesalanku semakin membuncah, namun aku masih bisa menahannya. Tapi kalau kalian perhatikan semuanya bisa terbaca dari raut mukaku saat itu. Bus 239 merupakan bus jurusan Medan Jakarta via Pakan Baru. Sementara bus 237 merupakan bus cadangan yang pada hari itu diberangkatkan ke Padang. Huft :/ aku sudah pasrah tertinggal dalam perjalanan kali ini. Di dalam kepalaku sudah tersusun rencana B. Meminta kembali uangku atau memundurkan keberangkatan. Mungkin ini jalan dari Tuhan untuk ACC judul skripsiku.
Jam 14.00 WIB lewat. Dalam lamunan kutersadar. Tiba-tiba dari suara microphone terdengar panggilan keberangkatan dengan nomor lambung 239 tujuan Bukittinggi, Padang diharapkan segera memasuki bus. Ibuk hendak kemana sapaku pada ibuk-ibuk di belakang? Ke Bukit jawabnya ramah. Oooo sama buk sahutku, naik 239 juga buk? Iya jawabnya.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan keterlambatan ini. Bergegeas kunaiki bus ini. Tas pakaian kuletakkan di bawah bangku. Tampak seorang petugas ALS tengah mengecek penumpangnya dengan selembar kertas absen. Bangku berapa, lapan ya dek sapanya? Iya lapan jawabku. Bangku lapan ini kupilih karena berada di samping kaca. Biasanya aku lebih suka duduk di bangku empat, tepat berada di belakang supir. Aku senang mendengarkan mereka berbicara dengan bahasa Mandailing. Rasanya pengen nimbrung dalam obrolan akrab itu, tapi aku canggung. Hmm lumayan kami dapat sekotak kue sebagai ucapan selamat datang dan pengganjal perut.
Sepi juga bus ini. Beberapa bangku masih belum ada penumpang. Bangku di sampingku pun kosong. Di terminal Lubuk pakam seorang laki-laki paruh baya naik dengan kupiah hajinya. Bangku 7?di mana? tanyanya. Di sini pak jawabku seraya menunjukkan bangku di sampigku. gaperta pak haji. Perjalanan ini akan membosankan dengan bapak-bapak yang sepertinya taat beragama ini di kiriku. mau kemana sapanya ramah Bukit jawabku sekedarna,. Bahasa indonesianya mendadak bercampur dengan Minang.
Telur . . . Telur . . . Rambutan . . . Rambutan . . . Gaperta . . . Gaperta mendadak bus kami seperti pajak yang dipenuhi oleh para penjual makanan. Mereka menawarkan pada masing-masing penumpang dari satu bangku ke bangku lainnya. Mungkin hal ini biasa saja. Tapi yang menarik bagiku adalah teriakan seorang penjual dengan kata-kata GAPERTA GAPERTA. Wah apaan yah dalam batinku. Setauku Gaperta itu adalah nama salah satu tempat di Kota Medan. Setelah aku melirik dagangannya, ternyata yang dibawanya adalah beranekaragam sate dengan sebuah nampan yang dibungkus oleh daun pisang. Ada sate kerang, sate telur puyuh, udang, dan lain sebagainya. GAPERTA GAPERTA, Ganjal Perut Pertama teriaknya lagi. Oooooooo kataku sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Entah karena ac atau kebiasaan tidur siang, sepanjang perjalanan aku hanya tidur dan tidur. Rasa sesak pipis ini harus kutahankan hingga kota Siantar. Lega rasanya. Kumakan kue kotak, sebuah pastel dan lemper. Wek tiba-tiba lemper itu kusemburkan dari mulut. Ada daging di tengahnya, aku tidak mengkonsumsi daging lembu atau sejenisnya. Kumur-kumur dan kuteguk aqua cup itu. Tumben ada sms masuk. Setelah dicheck ternyata dari kakak rantanganku. Ia sudah sampai di Medan setelah berada di Pasaman, kampung halamannya selama hampir dua pekan. Ada pesta pernikahan adiknya di sana.
Padang Bukit naek naek. Aku dan para penumpang lainnya naik ke dalam bus mendengar komando itu. Gak makan sapa bapak. Nantik aja pak di Sidimpuan, Kotanopan, atau Pahae jawabku. bah udah dekat la itu, apa nggak lapa? Tambahnya. Setelah menyetel AC, kulanjutkan kembali tidurku.
Sekali terbangun kami sudah sampai di Parapat. Indahnya Danau toba di malam ini. Kerlap-kerlip cahaya lampu yang menghiasi pinggiran danau kebanggaan Halak Hita ini. Jangan harap akan melihat danaunya sebab bias kelamnya langit malam. Sebelum memasuki terminal Sosor Saba bus kami mengisi bahan bakar di pom bensin. Hasang Sihobuk, ya ini lah kacang rendang oleh-oleh khas di sini. Berapa tanyaku pada seorang anak lelaki yang masih duduk di bangku SMP atau SMA. 10 bang katanya. Kalau ambil 2? Ya 20 la bang. Oooo yodah la kasih satu aja hehe.
Terlalu dingin perjalanan malam hari itu, meskipun AC sudah ditutup. Astaga aku lupa membawa jaket. Ku keluarkan Kain Ulos Batak ragi Hotang dari dalam tasku. Lumayan buat menghangatkan tubuh ini. Aku mendengar komentar dua orang muda-muda di belakangku. Mereka bilang kainku itu kain adat kemalangan. Hehe aku tau itu biasanya kain ini digunakan sebagai pembungkus jenazah orang-orang yang belum berkeluarga. Seperti yang terlihat ketika kami melintasi Kota Tarutung malam itu, Suasana duka menyelimuti rumah itu. Di tengah rumah tergeletak wanita tua yang sudah diberi pengawet serta ulos di badannya yang telah memutih.
Bulan sabit yang selalu kupandangi dari balik jendela. Sinar-sinar yang berasal dari sebuah lampu sorot yang dari tadi mondar-mandir. Menemani perjalananku malam itu, Meninggalkan jejak di setiap kota yang kami lalui kuupdate status FB. Sepertinya aku merasa mual. Perut kosong ditambah deruan angin AC. Minyak kayu putih adalah senjata andalanku. Dalam lilitan ulos hotang aku tertidur pulas.
Istirahat istirahat katanya. Hmmm dimana ini ??? aku terbangun sambil mengucek-ngucek mata. Bah udah nyampe Panyabungan aja rupanya. Makan dulu ah daripada nantik masuk angin lagi. Sebenarnya aku tidaklah lapar betul. Buktinya nasi bungkus dengan lauk ayam asam manis, tempe pergedel kentang, dan sayur lobak yang sudah basi itu hanya separohnya saja yang habis. Penjual salak itu mencoba menggodaku, tapi aku tak mau termakan rayuan mautnya hehehe. Ke mana dek, Padang tanyanya. Bukit kataku. Salak Sidimpuan dek oleh-oleh katanya menawarkan dagangannya. Banyaknya tapi Salak Sidimpuan di Bukit sana, dioper pun ke sana dan di sini tinggal sisanya jawabku dengan logat Mandailing yang kental. Hhahahahahha semoga dia tau kalau aku juga orang Mandailing sama sepertinya.
Oh iya Kota Panyabungan adalah ibukota dari Mandailing Natal. Sisa-sisa peristiwa banjir bandang waktu itu masih terekam di sini. Perlahan bus kami menaiki jembatan papan darurat yang melintasi Aek Godang (Batang Gadis). Kiri kiri teriak bocah-bocah kecil itu memandu kami. Anak-anak kecil itu memanfaatkannya untuk mendapatkan uang saku. Mamak begitu lah mereka menyapa bapak supir dan keneknya ini. Mamak dalam bahasa Mandailing sama artinya dengan tulang atau paman.
Kami memasuki perbatasan Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Pasaman kelak aku akan berada disini selama masa penelitian. Semoga penelitianku kelak bermanfaat, mengingat kurangnya literature dari putra daerah mengenai wilayah yang unik ini. hmm beberapa keluarga menyuruhku untuk singgah dahulu di kampung ini. Iya dalam waktu dekat aku akan pulang ke sini. Tapi tidak untuk sekarang. Aku transit dulu di kota kelahiranku untuk mengatur strategi masa depan.
Rasanya lumayan cepat kami sampai di Kota Bukittinggi. Aku, Pak Haji dan beberapa penumpang lain turun membawa tas masing-masing. Bus kami akan transit beberapa saat sebelum melanjutkan perjalanannya kembali ke Kota Padang. Mobil kijang merah ayah sudah parkir di seberang jalan. Huft puji Tuhan akhirnya perjalanan panjang selesai. Finally Im @home. Lapis Legit Majestyk dan Hassang Sihobuk menjadi pembuka pintu rumah. Berhubung ini hari Jumat ya ayah dan adek-adek laki-lakiku tengah bersiap menuju Masjid melaksanakan sholat Jumat. What about me ??? brrrrrrr dingin kali cuy nak mandi di Bukittinggi ini, bahkan hari itu aku tak mandi hahahahahaha #jorok kali bah anak muda satu ini :p
0 komentar: